Bunyi
klakson, orang-orang dan kendaraan saling desak, rengekan anak-anak, jeritan
para pedangan segala rupa yang memekakkan telinga, serta terpaan sinar matahari
yang menyengat kulit, campur jadi satu. Jalan sempit di depan pemakaman Kober
Kedaung, Tangerang, itu bertambah sempit dengan parkirnya mobil dan motor para
peziarah di tempat yang tak semestinya. Ditambah lagi oleh pedagang yang dengan
cueknya merangsek ke tengah jalan. Saya juga terjebak di sana bukan karena akan
berziarah di hari kedua Idul Fitri ini, tapi karena saya salah bertanya.
Semua
berawal pagi tadi, saat saya dan Kak Adi ditugaskan ‘nganteuran’- tradisi
mengantar makanan ke rumah saudara kandung yang lebih tua saat lebaran- ke
rumah Pak Tarmin (kakak dari orang tua Kak Adi).
“Rumahnya
di kampung Pulosari. Tahu kan? Dari Pasar Kedaung, sebelum jembatan belok kiri.
Terus aja nanti nemu gapura masuk. Lurus terus, ada pemakaman. Dari situ masih
lurus juga. Nanti tanya aja Kampung Pulosari, rumah Pak Tarmin. Semua orang
kenal kok.” Mak Acih, ibu Kak Adi, memberi arahan sebelum kami berangkat nganteuran.
“Lebaran
gini biasanya di pemakaman Kober itu rame, maceeettt,” cerocos Mak sambil
menaruh penekanan pada kata ‘Kober’.
Kami
pun melenggang pukul sembilan menuju Kedaung, sekitar dua puluh menit dari
rumah. Sebenarnya kami pernah ke rumah Pak Tarmin beberapa tahun lalu, hanya
saja kami ke sana malam hari dank arena saat itu Pak Tarmin sedang merayakan pernikahan
anaknya, jadi banyak petunjuk atau plang yang di pasang menuju rumahnya. Kami
hanya ingat jalan pinggir kali dari Pasar Kedaung, lalu ada jalan ke kiri. Tak
ingat sedikit pun soal pemakaman.
Saat
mulai memasuki jalan kampung, saya ingat pernah melewatinya dulu, lalu kami
temukan warung mie ayam dan itu kami jadikan patokan. Setelah melewati warung
itu kami harus menempul jalan gili, jalan kecil yang sisi kirinya pesawahan. Dulu,
jalannya belum dipasang paving block sehingga membuat kami agak bingung. Di
persimpangan kami berhenti, maju ke depan sedikit dan bertanya dimana pemakaman
Kober.
“Dari
sini lurus aja, nanti ada pertigaan belok kanan,” begitu kata bapak penjaga
tambal ban yang kami tanya.
Motor
pun melaju lagi, di jalan paving block tidak rata, sampai jalan aspal mulus,
kami masih berjalan terus. Di pertigaan, kami bertanya lagi, mengonfirmasi
benar atau tidak belokan ke kanan itu menuju Kober. Ternyata benar. Kami pun
mengikuti jalan kecil kea rah Kober itu dengan perasaan tenang.
Sekitar
dua puluh meter menuju pemakaman, kami sudah dijebak macet. Manusia dari mulai
anak-anak sampai orang tua berjubel berebut jalan. Kebanyakan mereka adalah peziarah,
membawa bunga dan air mawar. Hanya saya dan Kak Adi yang malah membawa
serantang nasi dan lauk pauk. Semoga tidak ada yang memperhatikan, takut dikira
kami akan memberi makan pada penghuni kubur. Hehe.
Kami
cuek saja. Meski Kak Adi sudah tidak sabar menghadapi kemacetan ini. Tapi saya
mencoba membidik sekeliling, mencari hal-hal yang sekiranya bisa menghibur. Aha!
Pas sekali di sisi kiri saya ada tiga remaja perempuan yang sedang berdiri di
depan gerobak bakso, dengan kostum super keren versi mereka. Rambut pirang mereka
terurai, bedak tebal menyapu wajah, dan kacamata besar merah nangkring di
batang hidung mereka. Satu lagi, ponsel plus headset jadi aksesoris tambahan
tiga cewek itu.
“Kak,
dari pada bĂȘte mending lihat ke samping. Ada hiburan gratis loh!” bisik saya sambil
menepuk pundak Kak Adi.
Dia
pun menoleh dan berseri-seri, lalu kami tertawa-tawa berdua, tak peduli di sisi
kanan kiri depan belakang, para pengendara sedang dalam situasi penuh tekanan
dan ketidak nyamanan. Jahat sekali ya kami! Tapi hukum Allah memang tidak
pernah meleset, kan? Setelah puas tertawa, motor bisa maju sedikit demi
sedikit, saat itulah kami mendapat balasannya. Sendal Kak Adi nyangkut di pohon-pohon
kecil dan semak yang menjalar di sisi jalan. Bukannya menolong, saya malah
tertawa lagi, tapi seketika diam karena takut kena balasan juga. Hehe.
Hampir
dua puluh menit kami dalam kemacetan dan akhirnya bebas setelah mobil pick up
di depan masuk ke tempat parkir. Kami pun berhasil melewati Kober yang seperti
Mak Acih bilang, “maceeeett.”
Kami
pun berhenti lagi di jembatan kecil dan bertanya pada ibu pemilik warung minuman.
“Bu,
Kampung Pulosari di mana ya?”
“Mau
ke Pulo? Ke rumah siapa? Hmm, sini sini! Ngikutin jalan ini aja terus, nanti
nemu pertigaan belok kanan,” kata si ibu sambil menunjuk jalan lurus dengan
telunjuknya.
“Nanti
ada tukang mie ayam, tanya aja lagi, kampungnya nggak jauh dari situ!” lanjut
si ibu.
Spontan
kami tersenyum dan gegas meninggalkan warung itu. Lalu tawa pun meledak. Apalagi
saat menyadari bahwa sebenarnya kami hanya berputar dan akan kembali ke warung
mie ayam yang sama tempat kami bertanya pertama kali. Kami pun melewati warung
mie ayam sambil membuang muka. Malu! Sejak tadi kami berputar-putar saja. Lalu
berhenti di jalan kecil setelah melewati sawah, tak jauh dari tukang tambal
ban. Kami bertanya lagi tanpa menyebut nama Kober yang direkomendasikan Mak
Acih.
“Ini
Pulosari. Mau ke rumah siapa?” kata perempuan setengah baya yang sedang duduk
di depan rumahnya.
“Itu
rumahnya Pak Tarmin, belok dikit, ada pohon jambu, terus masuk aja! Rumahnya
paling ujung,” terang perempuan itu lagi.
Kami
pun akhirnya menemukan rumah Pak Tarmin, rumah yang sebenarnya sudah kami
putari tadi. Ah, salah bertanya, malu di jalan! (Tari)
0 komentar:
Post a Comment