Emosi Siti

Membaca merupakan proses memahami apa yang dibaca melalui indra penglihatan, dicerna dengan pikiran dan jatuh pada perasaan. Lain halnya dengan sekadar membaca, simbol-simbol bahasa hanya melintas sejenak di pikiran, tanpa menyampuri ranah emosi sedemikian kuat. Begitu pula dengan membaca cerpen-cerpen karya Ahmad Wayang di buku berjudul “Siti” ini. Jika kita membacanya dengan seksama, segala perasaan ‘dipanggil’ untuk naik ke permukaan.
Perasaan atau emosi yang muncul memang dipengaruhi oleh perbagai aspek, diantaranya intensitas dan rasionalitas. Bagi orang yang sudah mengenal dan berkawan dengan Wayang mungkin akan merasakan emosi yang lebih kuat  -bahkan mungkin menghubungkannya dengan kepribadian si penulis- ketimbang dengan orang yang baru pertama kali membaca karya-karyanya. Tapi Wayang secara jelas berusaha memasuki ranah emosi pembaca dengan pemilihan kata, alur, karakteristik tokoh dan konflik internal maupun eksternal, sehingga membuat pembaca –yang memberikan intensitas cukup kuat- diaduk sisi emosionalnya.
Cerpen “Kenangan Zen” misalnya, konflik internal (psikologis) yang dialami tokoh Gah karena cintanya kepada Zen tidak bersambut, dideskripsikan sedemikian kacau dan dalam sehingga kita turut mafhum terhadap situasi patah hati yang bisa saja dialami setiap orang. Kemudian dengan santun, Wayang memberikan sedikit petuah kepada kita, ketika tokoh Gah bangkit dan melawan sakit hatinya dengan berlari ke perempuan lain –meskipun ini tidak membuatnya lupa pada Siti-. Setidaknya Wayang telah memberitahu kita bahwa tidak baik berlarut-larut dalam nestapa bahkan “Kenangan Zen” –melalui tokoh Naila- juga bisa memberikan penghiburan kepada orang-orang yang tengah patah hati, bahwa masih banyak perempuan lain yang tidak menutup kemungkinan akan membahagian si lelaki.
Rasa kesal sekaligus ngeri juga menghampiri ketika kita singgah di cerpen “Pistol”. Satib yang garang dan keji, menjadi pembunuh hanya karena Siti-nya yang gembrot diledek orang. Hal tersebut memang bukan hal yang absurd, sebab telah banyak dijumpai kasus-kasus pembunuhan berlatarkan cinta. Tetapi agaknya tokoh Satib dibuat terlalu berlebihan. Ia membunuh orang terang-terangan, tetapi tidak ada satu pun kasus pembunuhannya yang diselisik. Dalam dunia nyata tentu agak mengherankan. Namun ini memang hanya fiktif belaka sehingga irasionalitas pun dihalalkan. Justru hilangnya rasionalistas ini lah yang lagi-lagi berhasil mengaduk emosi pembaca.
Semua cerpen dalam “Siti” –kecuali cerpen Pistol- berakhir menyakitkan. Semua masalah terselesaikan tetapi tidak menjadikan si tokoh bahagia. Cerpen “Mata” berakhir dengan perginya Siti bersama lelaki lain, dan usaha si tokoh aku merebut Siti dengan cara membunuhnya. Tak beda dengan “Mata”, cerpen “Surat” pun diakhiri dengan kepergian Siti karena Siti hanya menganggap Jon sebagai teman. Sedangkan cerpen “Cemburu” membuat Siti pergi dari hidup Gading karena Patimah –mantan kekasih Gading- juga masih menaruh harapan pada Gading.
Mengingat perkataan Darwin bahwa emosi sangat berguna untuk memotivasi diri melakukan sesuatu. Emosi yang dipinjamkan Wayang kepada kita lewat cerpen-cerpennya juga bisa jadi berguna dan memberikan motivasi bagi kita untuk tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan yang sama dengan tokoh-tokoh dalam buku “Siti” ini. Dengan kata lain, bukan hanya emosi kita saja yang tersentuh, tetapi ada pelajaran yang bisa kita ambil dari sisipan-sisipan kisah cinta di buku ini.
                                                                                     




0 komentar:

Post a Comment