“Saya harus menulis tentang ini!” begitu bisikan hati saya setelah
saya sampai di bibir pantai Tanjung Kait.
Saya menghela napas, keinginan untuk berenang pagi di hari di air
laut yang hangat, hilang sudah. Padahal, sejak kemarin, saya sudah membayangkan
betapa asyiknya main air sambil melihat sunrise seperti yang sering saya
lakukan dulu. Saya pun berangkat pagi-pagi dari rumah menuju pantai di utara
Kabupaten Tangerang tersebut. Sambil mengingat-ingat lagu Tanjung Kait – Tanjung
Pasir yang diciptakan oleh Tingbating, grup reggae asal Tangerang.
Engkau mutiara
Di pantai utara
Kucinta kau selalu
Pantai indahku
Wo woooo..
Tanjung Kait
Tanjung Pasir
Tak
perlu jauh ke Bali atau ke Hawaii untuk melihat pantai, seperti dalam lirik
lagu tersebut. Jarak rumah ke Tanjung Kait hanya sekitar 10 kilo meter. Jika
sedang suntuk atau bosan, maka saya melarikan diri ke sana. Ada lebih dari
empat kawasan pantai yang bisa kita kunjungi. Pertama, kawasan pantai radar. Disebut
radar karena ada kawasan Satuan Radar TNI AL di sana. Sewaktu kecil, tiga
sampai empat radar masih aktif berputar-putar memantau sekitar pantai. Tapi
sekarang, radar di bagian belakang Satuan Radar yang berbatasan langsung dengan
kawasan pantai klenteng, sudah tidak berfungsi lagi. Radarnya pun berkarat.
Setelah pantai Radar, ada lagi kawasan pantai klenteng, pantai
lapangan, sangrila, dan lain-lain. Pantai klenteng, biasanya dipenuhi oleh
wisatawan yang ingin makan sea food di pinggir pantai. Sedangkan pantai
lapangan, lebih pada wisatawan yang ingin berenang. Untuk memasuki kawasan
pantai ini, kita harus membayar 10.000 untuk motor dan 20.000 untuk mobil. Pada
saat memberi karcis, petugas jaga biasanya akan bilang, “Sekali jalan, kok.
Nggak akan ada pungutan lagi!” Tidak usah terlalu percaya, sebab beberapa meter
setelah pintu masuk, akan ada lagi orang yang menghalangi jalan kita dan
memyodorkan karcis yang harus ditukar dengan uang seharga awal. Ini yang
menyebalkan. Tapi, jika beruntung, di hari-hari biasa (bukan hari libur), kita
hanya akan bertemu satu pemungut karcis saja. Bahkan, jika lebih beruntung
lagi, kita bisa melewati pos penjagaan itu tanpa membayar. Caranya tidak mudah,
kita harus bisa meyakinkan si petugas kalau kita ke sana bukan maksud
berwisata, tapi akan mengunjungi saudara kita yang ditinggal di kawasan pantai.
Hmm, atau buat pengunjung yang memang tinggal tak jauh dari kawasan pantai,
cukup menganggukkan kepala saja, bisa lewat dengan gratis.
Kakek saya, yang dulu cukup sering bolak-balik Tanjung Kait memberi
tips, “Nanti kalau mau ke Tanjung Kait lagi, bilang aja mau ke rumah si Mitun!”
Saya bengong dan bertanya siapakah si Mitun itu. “Nggak tahu siapa. Asal sebut
aja!” jawab Kakek enteng. Hmm.
Dari sekian banyak keribetan retribusi yang ada di Tanjung Kait,
oleh karena itu, saya lebih senang ke sana di hari biasa pada pagi atau sore
hari. Pada hari biasa, pantai ini terbilang sepi. Meskipun ada saja yang
berkunjung untuk memancing atau sekadar duduk-duduk. Ingin rasanya mengulang
kenangan-kenangan menyenangkan di Tanjung Kait, duduk di dermaga, dihempas
angin, melihat matahari pelan-pelan terbenam. Ah!
Sekarang, pantai ini sudah jauh berbeda. Abrasi mengikis pantai.
Sampah-sampah dan lumpur menyatu dan terlihat jelas saat air laut surut. Warung-warung
dan toilet-toilet bambu yang sudah rusak, semakin menambah kesan kumuh di
pantai itu. Maka, sebelum matahari naik sempurna, saya memilih pulang dan
berazam untuk menuliskan tentang ini, juga tentang nenek penjaga warung yang
memberikan pelajaran berharga bagi saya. “Jika tidak berniat membeli jajanan
apa pun di warung tersebut, jangan coba-coba duduk di balai-balainya, karena
kita akan dipaksa membeli. Ya, dipaksa membeli!” Uhf.
-Tari
-Tari
0 komentar:
Post a Comment