Kupikir, kita nggak bisa
memilih akan dipertemukan dengan siapa.
Kusimpan
kalimat yang tiba-tiba melintas di benak itu di catatan smart phone-ku. Lalu kutatap bulan sabit yang menggantung anggun di
langit barat sambil duduk di serambi rumah. Sendiri, menghirup udara malam yang
menusuk dan harum. Lalu kucoba mengingat apa yang Hera katakan padaku kemarin.
“Kak,
lo kok ngebolehin dia ke rumah sih? Lo tuh jadi cewek mesti tegas dong! Kalau
lo nggak suka sama dia ya nggak usah temuin dia, bales sms dia, angkat telepon
dia, pokoknya apapun deh yang berhubungan sama dia!” ungkap Hera mantap.
Aku
hanya mendelik dan mencoba menelan kata-kata adik perempuanku itu. Sambil
diam-diam mengagumi ketegasannya. Tapi kurasa Hera belum mengerti apa yang
sebenarnya terjadi dalam cinta. Hera tak pernah paham pergolakan batinku pada
dua lelaki yang bersikeras mengejarku. Dua lelaki yang punya keyakinan kuat
akan berjodoh denganku. Ah, bisakah itu dipahami takdir? Mm, maksudku bisakah
dua orang yang berbeda, punya kadar keyakinan yang sama-sama kuat, berusaha
sama kerasnya, untuk mendapatkan hal yang hanya ada satu di dunia ini? Atau
mungkin di belahan bumi yang lain, ada kembaranku yang tak pernah kutahu sebelumnya,
yang akan berjodoh dengan salah satu dari lelaki itu? Kuharap kami semua
bahagia. Itu doaku sepanjang hari. Tapi mungkin Hera belum mengerti.
Namun
hari esok datang (setelah Hera menasehatiku) dengan kejutan besar buat Hera.
Aku sedang menyapu halaman ketika lelaki muda jangkung kurus putih itu datang
dengan senyum dan sapaan khasnya. Jika tak salah ingat, aku pernah melihat
lelaki ini beberapa kali datang ke rumah berbulan-bulan lalu, mencari Hera,
duduk berlama-lama di beranda rumah dan begitu setiap hari. Sampai akhirnya
kedatangannya berhenti ketika Mama dan Papa menegur Hera agar tidak terlalu
sering berbincang sampai larut malam. Mama Papa khawatir hal itu mengganggu
belajar Hera. Saat itu kupikir itu pacar Hera, tapi saat kutanyakan padanya, ia
tak menjawab. Hera memang agak tertutup soal itu dan selalu membiarkanku larut
dalam spekulasi. Faktanya, cowok kurus itu yang sering bertandang ke rumah,
tapi Hera pernah cerita kalau pacarnya itu agak gemuk dan foto yang kulihat di
dompet Hera pun berbeda dari wajah lelaki putih kurus itu. Jadi aku harus
menyatakan bahwa cowok kurus itu, yang pernah hampir setiap hari ke rumah, yang
sekarang berdiri di depanku, yang kutahu namanya Alan, bukanlah pacar adikku,
Hera. Tapi perasaanku bilang, Alan punya rasa yang lebih dari sekadar
teman.
Hera
masih asyik di bawah selimut ketika aku membuka pintu kamarnya.
“Ra,
ada temen lo tuh! Bangun!”
Hera
mengerjap lalu menutup lagi wajahnya dengan selimut.
“Wuy,
bangun! Temen lo nunggu tuh di depan!” Aku menyentak.
“Iss,
siapa sih?” Hera bangun dengan enggan. Lalu dia bergegas ke kamar mandi,
mencuci mukanya dan berganti pakaian.
Aku
mendengar ekpresi kagetnya saat ia melihat Alan berdiri di depan rumah. Lalu
mereka berbincang di ruang tamu dengan kursi kayu jati dan kue-kue kering sisa
lebaran. Tak lama Mama lewat dan bergabung dengan mereka. Alan terlihat asyik
berbincang dengan Mama perihal dirinya. Lalu Mama kembali undur diri. Tinggal
Hera dan Alan. Sementara aku memilih duduk di depan rak buku tak jauh dari ruang
tamu, menyampul beberapa buku.
Alan
pamit saat hari mulai terik. Lalu Hera dengan cengiran yang aneh,
menghampiriku.
“Gue
takut ngalamin hal kayak lo, Kak! Dihadapkan pada lelaki lain yang kekeuh dan sepertinya lebih serius
dibanding pacar gue. Duuuh.”
“Kemarin siapa ya yang nasehatin gue? Hahaha.
Rasain lo. Mamam..” Aku tertawa keras. Meledeknya. Tapi kemudian sadar bahwa
tak baik menyimpan dendam.
Hari
itu, aku punya dua kesimpulan. Pertama, kita tidak bisa memilih akan
dipertemukan dengan siapa. Kedua, kita tidak pernah benar-benar bisa memahami
sesuatu sebelum kita mengalaminya sendiri.
0 komentar:
Post a Comment