Sore
ini, 10 Juli 2014, jadi sore yang spesial. Bila biasanya saya menunggu magrib
tiba dengan menonton tivi atau duduk di depan rumah, kali ini saya bersama Ocha
dan Azam, menyusuri jalan Raya Mauk yang teduh. Angin sore menerpa wajah kami.
Sekitar tujuh menit dari rumah, tepatnya di pemukiman padat Desa Banyu Asih,
kami berbelok kiri menyusuri gang kecil dengan rumah berjajar berhimpitan di
sisi kanan kirinya.
Kami
akan menuju rumah Wak Karsan, petani yang mengurus sawah Emak di Banyu Asih
sejak belasan tahun lalu. Setibanya di depan rumah Wak Karsan yang terbuat dari
kayu dan bilik itu, kami langsung diantar istrinya ke sawah yang letaknya
kira-kira dua ratus meter dari rumah Wak Karsan. Sawah yang membentang luas di
belakang SD Banyu Asih itu bila ditelusuri akan menyambung ke jalan Raya Mauk
sampai terus ke arah kantor kecamatan.
Sawah
selalu menyejukkan mata, meski sawahnya sedang kering, tidak ada bulir-bulir
padi yang bisa kita lihat. Tapi justru inilah saatnya petani menanam sawah
dengan tanaman lain. Wak Karsan menanam sawahnya dengan timun suri dan kukuk, sejenis labu sayur.
Timun
suri adalah buah yang biasanya banyak dicari orang untuk bahan berbuka puasa. Di
Kecamatan Mauk sendiri, kita bisa mendapati pedagang timun suri berjajar di
pinggir jalan. Paling banyak memang di daerah Tegal Kunir, Banyu Asih sampai
Pasar Mauk. Karena sepanjang jalan itu hampir semua sawah ditanami timun suri. Para
tengkulak pun tak perlu repot membawa mobil atau gerobak untuk mengangkut timun
yang mereka beli dari para petani, cukup menyewa becak yang dengan mudah bisa
diturunkan ke sawah.
Saya
yang gemar sekali timun suri semakin penasaran dan ingin tahu lebih banyak.
“Arep nakon
apa?” Sahril, anak tertua Wak Karsa mendekat setelah dipanggil ibunya,
sambil membawa ember kosong untuk mengangkut timun suri yang akan kami petik
nanti.
“Kita
mulai nyebar bibit timun bulan Rajab. Ya, satu setengah bulan lah jaraknya
sampai panen,” tukas Sahril sambil memilih-milih timun.
Masih
menurut Sarhril, timun suri terbilang tanaman yang perawatannya mudah. Cukup
disiram setiap hari dan diberi pupuk empat hari sekali. Hamanya pun tidak
terlalu banyak, hanya Oteng-oteng, sejenis kumbang bertubuh pendek dan gemuk,
dengan warna cokelat cerah dan mengilap.
Dalam
waktu kurang dari sepuluh menit, kami berhasil mengumpulkan sekarung timun. Ada
yang kecil segenggaman tangan, ada juga yang lumayan besar. Semua yang kami
panen adalah timun yang matang pohon, bukan timun emposan yang matang karena diperam.
“Kalau
matang, wanginya tercium. Tapi gampangnya lihat saja tangkainya, kalau sudah
bergetah tandanya sudah mulai matang. Kalau tangkainya sudah lepas, maka itulah
timun yang sudah benar-benar matang,” jelas istri Wak Karsan semangat sambil memegang-megang
tangkai timun yang masih hijau.
Setelah
puas memanen dan berfoto di tiga petak sawah ini, kami pun kembali ke rumah. Sahrir
hanya tersenyum ketika di perjalanan pulang saya singgung soal pendapatannya
dari budidaya timun suri di Ramadan ini.
“Alhamdulillah.
Cukup lah untuk lebaran,” candanya. (Yori)
Waa....saya malah ga punya sawah, adanya kebun kopi. Itupun ga pernah aku pelajari gimana cara nanamnya
ReplyDeleteHihii. Kalau gitu nanti tanya saja sama petani kopinya. :D
ReplyDelete