“Meskipun
berkecimpung di sekolah tidak pernah masuk daftar masa depanku, tapi ternyata
kehidupan menyeretku ke sini. Bukan, bukan karena terpaksa, dipaksa atau karena
tidak ada pilihan lain, tapi karena inilah yang ternyata jadi lompatanku untuk
menggapai banyak cita-citaku yang lain! Hup! Catch the future!”
Sejak
kecil, profesi guru tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita saya. Jika ada yang
bertanya, maka saya akan menjawab, kalau sudah besar ingin jadi dokter. Keren
sekali bisa jadi dokter, seperti bayangan saya sejak kecil. Tapi, setelah
beranjak remaja, ternyata jadi dokter sudah tidak begitu menarik. Pertama, saya
anjlok pada Fisika dan Kimia, dan nilai Matematika saya tak jauh dari
menyedihkan.
Tanpa
direncanakan, saya suka menulis. Di masa SMP, saya sudah rajin membuat coretan
puisi (yang baru saya sadari saat kuliah kalau puisi-puisi itu masih mentah).
Saya juga sering menulis curhatan harian di diary, dan tentu saja menulis
surat. Dari surat lah saya menemukan kebebasan bercerita pada orang yang saya
percaya. Dari surat pula saya bisa mengumpulkan kata-kata yang menuntut saya
mencari banyak kosa kata.
Banyak
yang bilang, surat saya hidup. Jika saya menulis cerita sedih, maka surat itu
seolah menangis. Jika saya menulis kisah konyol, maka surat itu seperti
terpingkal-pingkal. Mereka bilang, surat saya bukan seperti tulisan, tapi
seolah saya hadir di depan mereka dan menceritakannya langsung.
Seiring
dengan itu, saya juga mulai suka membaca, lalu menulis, dan ingin tulisan saya
dibaca orang! Saya ingin jadi penulis. Dan mimpi itu pernah jauh tenggelam
sampai akhirnya saya datang ke Rumah Dunia dan bergelut selama tiga tahun di sana.
Berguru pada Gol A Gong dan Toto ST Radik serta kawan-kawan relawan lain. Alhamdulillah,
cita-cita jadi penulis sedikit demi sedikit mewujud. Cerpen dan puisi mulai
terbit di koran lokal dan nasional. Buku-buku mulai lahir meski baru sebatas
anotologi kroyokan.
Begitulah
sekilas tentang cita-cita saya, yang akhirnya juga menarik saya pada satu
profesi lain. Tapi sebenarnya, profesi saran dari orang tua saya inilah yang
membuat mimpi saya menjadi penulis semakin dekat. Suatu hari, Papa meminta saya
mengajar di sekolah yang ia pimpin. Awalnya berat sekali karena saya pikir jadi
guru itu susah, tantangannya besar, tugasnya berat : mencerdaskan anak bangsa
dan mendidik agar berakhlak mulia. Meski saya merasa berat, toh saya terima
juga tawaran tersebut. Dan saya mengajar.
Rupanya,
keseharian saya di sekolah memunculkan banyak sekali inspirasi untuk dijadikan
cerita. Bahkan kejadian sehari-hari pun bisa dituliskan. Ada satu novel worklit
yang ingin saya garap. Idenya muncul ketika saya mulai menjabat sebagai wakil
kepala sekolah bidang kesiswaan.
Saya
semakin percaya, Allah akan selalu mendekatkan kita pada mimpi. Meski jalan ke
arah mimpi itu, tak pernah kita duga sebelumnya.
0 komentar:
Post a Comment