“Cita-cita itu mimpi. Mimpi itu bisa disusun, bisa jadi nyata. Ya,
saya sudah membuktikannya!”
Ingatan tetiba membawa saya pada ruang kelas di lantai 6. Saat saya
dan rekan-rekan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) E, duduk dengan
tegang di depan dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Politik, Bapak Rachmat
Baihaqi. Matahari sore berkilauan yang menembus jendela, membuat ketegangan
sedikit meregang. Setidaknya buat saya.
Dosen yang sudah mengajar kami tiga semester berturut-turut ini,
adalah dosen paling killer di kelas. Bahkan mungkin, ia menduduki peringkat
terkiller pertama sejurusan. Tapi, anehnya, justru dosen inilah yang paling saya
idolakan. Saya ngefans berat dan kepingin banget foto bareng beliau (sedihnya
nggak pernah kesampaian sampai lulus kuliah).
Saya suka gayanya mengajar, saya suka suaranya yang besar dan
badannya yang tinggi kekar. Dan yang paling saya ingat adalah senyuman dan
tatapan menyiksa yang ia tujukan pada para mahasiswa setiap ia selesai membahas
suatu materi. Ini adalah saat-saat paling tak nyaman. Karena jika kami tidak
bisa menjawab pertanyaannya, ia akan tersenyum terus. Sambil mengungkapkan
kalimat pamungkasnya, “Otak kamu tuh mesti disiksa!”
Sejak saat itulah, saya mengenal ritual menyiksa otak. Ritual yang
harus saya pakai setiap kali belajar dengan beliau. Kami tidak boleh memanjakan
otak kami, berkata tidak tahu, tidak mengerti, dan hal yang sama dengan itu.
Kami harus terus berpikir, berpikir, dan berpikir terus. Sampai mentok. Sampai
ngebul! Tapi, jujur, lama kelamaan saya merasa asyik menjalankan ritual
tersebut.
Ada lagi, kalimatnya yang masih terngiang sampai saat ini. Ketika
itu, banyak cewek cantik di kelas yang (maaf) hanya mementingkan fashion, make
up, dan tampilan luarnya tanpa mengimbangi isi kepala mereka. Ketika Pak Beqi
(begitu beliau sering disebut) mengajukan pertanyaan, dan para cewek cantik itu
kaku dalam menjawab, dia dengan senyum dan tatapan menyiksanya, bilang begini :
“Plis deh, jangan lunturkan kecantikan kamu dengan kebodohan kamu!”
Kalimat itu sangat menghentak. Seperti ada angin segar yang meniup
otak saya. Sebelumnya, saya sering merasa nggak pede karena nggak cantik, nggak
bisa dandan, nggak fashionable, dan lain-lain. Tapi, kalimat pak dosen itu
kembali menyadarkan saya bahwa fisik bukan nomor satu untuk menjadikan
seseorang itu menarik. Tapi, kecerdasan pikiran dan kepribadianlah yang jauh
lebih penting.
Satu peristiwa yang paling tak bisa saya lupakan (karena ini
membuat saya malu), adalah ketika kami kuliah bersama dengan kelas KPI yang
lain. Auditorium lantai 2 penuh sesak, saya duduk agak jauh dari panggung.
Berharap, dengan jarak yang cukup jauh itu, pak dosen tak berselera melemparkan
pertanyaan pada saya (seperti yang selalu ia lakukan di kelas). Hingga saat
ritual menyiksa otak itu tiba, beberapa teman di kelas lain kena tembakannya.
Lalu ada pertanyaan yang lumayan sulit yang belum bisa dijawab siapa pun. Saya
menunduk dalam (setelah sebelumnya sempat mengarahkan pandangan ke arahnya).
Lalu, tetiba pak dosen bilang, “Hmm, saya tahu nih trik dia. Dari tadi nunduk
terus supaya nggak ditanya.” Saya mengangkat kepala, mencari siapa di antara
kami yang dimaksud beliau. Sampai beliau menyebutkan satu nama, “Anwar!”
Saya seperti kena strum. Beliau memanggil saya. Ya, beliau senang
sekali memanggil nama belakang saya dibanding nama depan saya. Semua orang
dalam auditorium mencari orang yang dimaksud beliau. Dan beliau sudah memasang
senyum paling mematikan. Bukannya menjawab, saya malah hanya bisa tersenyum,
malu. Dan mulai saat itu, saya tidak lagi berani menunduk untuk mengelabuinya
karena ia sudah tahu kunci trik saya.
Mengidolakan ia, sempat menerbitkan keinginan di hati saya untuk
sepertinya. Dan tanpa disangka, kini apa yang saya dambakan jadi kenyataan.
Saya mengajar mahasiswa UNMA Banten dan beberapa metode pembelajaran dari Pak
Beqi saya pakai di kelas. Diskusi kelompok baca, ritual menyiksa otak, dan
lain-lain. Kadang, saya tersenyum sendiri di kelas bila ingat tiga semester
bersama beliau. Sungguh mengesankan.
0 komentar:
Post a Comment