Aku Debu


Andai hatimu  terlalu penuh oleh namaku
Mungkin akan kuhapus sedikit
Agar udara yang lain bisa mengisinya

Ketika mendengarmu sakit, rasanya ada yang menusuk-nusuk jantungku. Meski puluhan kilo meter terbentang antara kita, perasaan dekat kerap muncul di sini. Aku sendiri, duduk di pembaringan dan memikirkan bagaimana caranya bertemu dirimu. Membawakan obat bagi luka yang tak jua kering. Namun bagaimana bisa bila di sini aku pun terluka. Luka yang disebabkan oleh rindu yang tak pernah terbayar. Karena jarak masih bukan milik kita dan entah kapan akan berdamai dengan kita. Tentu hanya harapan yang kerap jadi doa. Doa yang dipintal terus menerus hingga jadi nyata. Entahlah.

Ku masih ingin menggenggam dunia. Tapi lagi-lagi dunia kita berbeda. Aku ke timur, kau ke barat. Aku berjalan maka kau berlari. Lantas kita tidak pernah bertemu di titik yang sama. Atau hanya belum? Bukankah Adam dan Hawa bertemu setelah sekian lama berpisah? Ah, lalu apa kisah yang sama akan terjadi pada kita sedangkan kita bukanlah Adam dan Hawa? Kenyataannya aku selalu berjalan sendiri tanpa dirimu. Dan sampai kapan seperti itu aku tak tahu. Aku tertatih. Mengingat ribuan hari yang telah menjadi kanvas bagi lukisan-lukisan kita. Mengingat ratusan pasang mata berkedip tak percaya karena si tampan dan si buruk rupa berjalan bersama. Aku bodoh, kau pintar. Aku minder, kau percaya diri. Aku pendiam, kau ceria. Begitulah kita. Bagai hitam dan putih.

Aku bicara sendiri. Tentu saja ini karena dirimu tak ada. Jika ada pasti aku sedang bicara padamu di depan teras rumah ditemani secangkir teh hangat dan angin malam yang meniup pelan. Lagi-lagi itu hanya mimpi dalam sadar. Sesekali kuberharap mimpi itu muncul di layar tidurku dan saat itu aku tak mau bangun. Tak mau. Karena saat membuka mata dan sadar dengan apa yang terjadi, hatiku kosong lagi. Kau tak ada. Suaramu tak ada. Senyummu tak ada. Desismu tak ada. Semua tentangmu menjadi samar. Kecuali rindu yang menyeruak menjadi racun di aliran darahku.

Lalu pada siapa kubagi tulisan ini? Berhrap pada dirimu. Tapi sepertinya merpati itu takkan sudi terbang jauh hanya untuk mengantar suratku. Atau kuhanyutkan saja ke laut di mana kita pernah duduk dan berpuisi? Atau kuhantarkan pada debu jalanan yang sering kali membuat matamu perih. Lalu kau akan membuka matamu ketika debu itu hilang. Bila itu terjadi, diam-diam aku berazam takkan lagi aku memintamu mengantarku. Tapi aku selalu gagal karena ternyata aku butuh dirimu. Apakah itu hanya pikiran yang kacau? Karena ternyata kita tetap mampu bertahan meski ratusan purnama tak kita saksikan bersama. Aku harus bangkit berlari tanpa dirimu. Mencari-cari duniaku dan menyempatkan diri menguntai doa-doa panjang agar suatu saat garis takdir berpihak pada kita. Lalu aku bergerak lagi. Menyusun kebahagiaanku dan melupakan semua belenggu tentangmu.

Ada yang mengetuk pintu kamarku. Lalu aku kembali terseret masuk dalam dunia nyata. Kulihat foto-fotomu terpajang di atas meja. Itukah dirimu yang pernah kutemui di tahun lalu? Ah, tentu itu dirimu yang lain. Yang memaksakan kepulangan hanya karena kemanjaanku yang tak bisa kau tolelir. Dirimu sesungguhnya adalah batu cadas. Dirimu adalah bunga edelweiss. Lalu aku apa? Aku hanya getah yang menodai keelokanmu. Aku hanya debu yang terbawa angin siang. Entah dimana jalan pulang.

                                                                                                 Tangerang, 29 Mei 2012 19.46

Unlike ·  · 

0 komentar:

Post a Comment