Minggu pukul 10 pagi, 30 Januari 2012. Cuaca di Desa Jatiwaringin sudah lumayan cerah. Walau masih ada jalan-jalan becek sisa gerimis yang turun saat subuh. Aku berjalan sendirian, menapaki setiap inchi jalanan desa yang sudah seperti kota. Sering aku rindu suasana desaku dulu, yang hijau dan asri. Namun sekarang, seiring dengan perkembangan zaman, desaku juga bertransisi. Berubah seperti kota pinggiran. Sawah-sawah diuruk jadi perumahan dan pertokoan. Miris. Untunglah masih ada sisa-sisa sawah yang terhampar. Semoga bisa bertahan hingga nanti. Hingga generasi mendatang tahu bagaimana bentuk dan keindahannya. Insyaallah aku berniat menuliskan tentang sawah di lain kesempatan.
Tak terasa aku sudah sampai di ujung gang. Ku tengok kanan kiri, menunggu sepi lalu menyebrang. Disebrang jalan, sahabatku Aya melambaikan tangannya. Oya, aku mengajaknya berkunjung ke Rumah Dunia di Serang. Aya adalah satu diantara sahabat terbaikku sejak SMP dulu. Tidak hanya itu, dia juga sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Aya tersenyum. Aku membalas senyumannya. Seperti biasa saat bertemu, kami selalu bersalaman. Budaya yang sudah jarang digunakan anak sekarang. Padahal, jababatan tangan seorang mukmin dengan mukmin lainnya bisa menggugurkan dosa kan ? Tapi tetap dalam konteks sesama jenis loh !
Tak menunggu lama, angkot yang ditunggu datang juga. Sepanjang perjalanan kami berbagi cerita tentang kehidupan atau tentang ilmu pengetahuan. Tak mau ku lewatkan berdiskusi dengannya tiap ada kesempatan. Tentu diskusi kami tak seserius dseperti diskusi saat perkuliahan. Sering terselip tawa panjang dalam obrolan kami. Termasuk dalam perjalanan kali ini.
Kami turun dari angkot tepat dibawah jembatan penyebrangan depan SMP 5 Kota Tangerang. Disana kami menunggu bus jurusan Serang. Tak lama, bus hijau jurusan Kali Deres - Merak itu datang. Sang kondektur menghampiri dan mengajak kami. “Neng, hayo Serang, Merak, Neng..!” Katanya sambil menggiring kami seperti kambing. “Penuh nggak, Bang ? Masih bisa duduk nggak ?” tanyaku. Dia senyum-senyum aneh dan menjawab, “Kosong, Neng.. Duduk lah. Mau tiduran juga bisa.” Dia membuka pintu bagian belakang bus. Dan kami masuk.
Sejak awal masuk bus itu aku merasa aneh. Kami ada dibagian belakang yang sepi dari penumpang. Ditambah lagi ruangan ini tertutup, sempit dan kedap suara. Kami tidak bisa mendengar aktivitas pengamen dan penumpang yang ada di bagian depan. Tapi kami berusaha senyaman mungkin menikmati perjalanan. Tak lama si kondektur masuk dan memberi karcis. Ku serahkan selembar 50 ribu. Dia bilang, “Kembalinya ntar yah, Neng.” Sambil menuliskan jumlah kembalian di karcis yang ku pegang.
Bus ini berjalan seperti siput. Lambat sekali. Tapi tak masalah juga bagiku, karena aku sedang tidak terburu-buru. Berkali-kali tukang asongan datang dan pergi. Dan mereka menatap aneh kearahku dan Aya. Lalu ada penumpang lelaki membuka pintu ruangan dan duduk di bangku paling belakang. Tak lama pria berjaket kulit itu membaringkan tubuhnya. Aku teringat omongan kondektur tadi, “Kosong, Neng.. Duduk lah. Mau tiduran juga bisa.” Aku dan Aya berpandangan dan tertawa. Kami rasa ini tempat tidur yang dimaksud si kondektur. Tak lama kemudian, ada lagi lelaki yang masuk. Lelaki ber-headset dan berkaos putih itu langsung duduk di barisan yang sama dengan kami. Kami asik saja mengobrol sampai akhirnya lelaki itu membuka mulutnya, “Mbak.. Bisa pindah ke depan nggak ?” Aku heran, “Emangnya kenapa, Mas ?” Dia mengambil sebatang rokok dari kantong depan kaosnya, “Saya mau ngerokok. Ini kan smoking room.” Hah ? Aku dan Aya langsung bangkit dan keluar dari ruangan apek, sempit, dan kedap suara itu. Kurang ajar benar si kondektrur itu. Bodohnya kami yang tidak pernah tahu kalau di bus juga ada smoking roomnya. Huh. Pantas saja aku merasa agak pengap disana. Setelah duduk di bangku tengah, aku dan Aya tertawa. Menertawakan kebodohan kami. Pantas saja pedagang-pedangang asongan dan pengamen itu aneh ketika melihat kami duduk di ruangan sempit itu. Aku menoleh lagi ke belakang. Dan ku lihat tulisan yang menempel di pintu ruangan itu. Tempat Udud. Begitu tulisan yang tertera di sana. Aya pun menoleh dan kami tertawa. Sekilas info, Tempat Udud= Smoking Area.
0 komentar:
Post a Comment