Kemarin siang, saya membuka potret-potret saat berkunjung ke rumah saudara kami di Ragunan Zoo. Ya walaupun bukan saudara sedarah dan sepersusuan, setidaknya para penghuni Ragunan Zoo juga tetap saudara kami. Saudara sebangsa dan setanah air. Hehe. Lalu ada angin-angin rindu berhembus di hati saya. Rindu pada pertemanan yang terjalin antara 8 orang perempuan di KPI E Multitalenta itu. Atau mungkin kos-kosan lah yang lebih mengakrabkan kami, bukan KPI E. Karena sepertinya kami lebih banyak meghabiskan waktu bersama di kosan. Entah itu kosan saya, kosan Nia, atau Asiyah dan Rini. Rindu itu pula yang mengantarkan saya pada niat untuk menulis. Menulis tentang kelompok pertemanan yang kami namakan Maskers Lovers. Ya, jika diindonesiakan nama itu berarti ‘pecinta topeng’ yah. Tapi biar saya jelaskan latar belakangnya. Ketika itu Siti Sabili Jahro, teman kami dari Depok- berkata begini : “Ah kita mah topeng semua. Kalo di kelas aja pada kalem, tapi kalo udah ngumpul aslinya keluar.” Gurauan itu akhirnya menginsiprasi kami untuk menamakan kelompok kami dengan nama Maskers Lovers. Ya, apapun artinya secara bahasa, bagi saya Maskers Lovers berarti “Teman-teman yang saya sayangi”. Hehe. Maksa’in!
Ya, saat ini saya punya hobi baru. Yakni menulis. Terutama menuliskan hal-hal yang terjadi di kehidupan saya. Tentang catatan perjalanan, tentang seseorang, atau tentang sesuatu. Dan tulisan itulah yang lantas menjadikan semacam terapi bagi pikiran saya. Saya merasa saat menuliskan semua itu, otak saya sedikit demi sedikit meleleh. Seperti mentega yang dipanaskan. Leleh kemudian cair. Dan ada sensasi yang tak terlukiskan ketika saya mengalami pengenceran otak itu. Haha. (Kaya’ penyakit yah!) Tapi sungguh, mungkin memang terdengar lebay. Tapi ini mujarab menghilangkan kekesalan ataupun rindu saya. Teman-teman bisa mencobanya sendiri. Kalau tidak berhasil, dijamin uang kembali. Loh? Hee.
Lantas, saya diam sejenak sambil membayangkan wajah-wajah Maskers Lovers. Wajah-wajah itu mengisi hari-hari kuliah saya selama hampir 4 tahun lamanya. Dan saya juga tidak menyangka ternyata sudah selama itu kami bersama mengarungi bahtera perkuliahan di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam itu. Sama-sama kami memacu semangat yang sering hilang dalam ruh kami. Walau akhirnya kami sama-sama juga bermalas-malasan dengan tidur-tiduran di kosan. Hingga akhirnya kami disadarkan kembali pada kewajiban kami untuk belajar. Saya masih ingat rasa malas yang luar biasa ketika saya dan teman-teman harus berangkat tengah hari untuk kuliah. Di kelas yang lumayan panas itu, mata saya tinggal setengah watt saja. Suara dosenpun berubah seperti dengungan lebah. Dan bukan hanya saya yang terkena syndrome itu. Teman-temanpun begitu. Deniza, teman kami dari Cakung- biasanya selalu mencolek saya saat ngantuk mulai menderanya. “Say, punya permen ga? Ngantuk nih,” katanya seraya mengerjap-ngerjapkan mata. Biasanya saya jawab dengan gelengan kepala. Atau Nia Najiah, sahabat kami dari Kananga itu juga sering meminta saya untuk membantunya menghilangkan kantuk. “Beb, cubitin dong tanganku! Biar ga ngantuk,” pintanya. Saya pun mencubit punggung tangannya sekuat tenaga. Tapi rupanya rasa ngantuk itu sudah sampai stadium 4. Tak tertahankan lagi.
Dilema gerombolan tanpa pimpinan yaitu ‘kebingungan’. Dan kami sering sekali mengalami kebingunangan itu. Terutama saat memilih tempat makan. Saat lapar menggerogoti lambung kami, dengan kompak kami akan melenggang menuju pintu keluar. Sampai di pintu keluar, kami pasti akan berhenti dan saling pandang. Lalu muncul satu pertanyaan pasti, “Mau makan di mana?”. Dan jawabannya juga hanya satu, “Terserah.” Lantas kami menjadi semakin bingung. Kadang kami sepakat untuk makan di Triarga (Rumah makan padang) di samping kampus, kadang juga kami setuju untuk makan masing-masing sesuai selera kami. Selain Triarga, warung sunda Si Teteh juga kerap jadi andalan kami ketika saya masih ngekos di daerah Kerta Mukti. Atau warung makan Bu Ucie di Kampung Utan dengan menu khasnya, ayam kecap. Tapi di semester 7 kemarin, kami lebih sering membeli soto atau mie ayam dekat kosan Nia. Karena kosan Nia adalah basecamp kami saat semester 7.
Bicara soal basecamp, sebenarnya kami tidak punya basecamp tetap. Kami lebih senang mampir di kosan teman sekedar untuk meluruskan kaki, makan, sholat, serta tidur siang sejenak jika sempat. Kami rela-rela saja bertumpuk-tumpuk di kamar kosan bagai ikan asin yang sedang dijemur. Selama ada celah, di sanalah kami isi. Hehe. Diantara 8 orang anggota Maskers Lovers, yang pernah atau masih ngekos yaitu Nia, Asiyah, Rini, Deniza, Nadia, dan saya. Dulu Nia tinggal di Darus Sunnah. Kami (terutama saya, Deniz, dan Bili) sering ke sana saat semester 5-6, langganan bakso yang direkomendasikan Nia. Ternyata baksonya memang enak. Saya kira kapan-kapan Maskers Lovers harus ke sana dan menyerbu gerobak bakso itu. Hee. Dulu juga Deniz tinggal di kosan. Tapi hanya beberapa bulan saja. Nadia juga tinggal di kosan, tapi sampai semester 7 habis, saya belum pernah ke kosan Nadia. Sedangkan Asiyah dan Rini hidup di Assalam, asrama khusus putri dengan jumlah kamar yang sangat banyak. Kami juga pernah menjadikan kosan mereka sebagaibasecamp. Adapun saya hanya betah ngekos 3 semester. Awal semester 4 saya pulang pergi. Tapi semester berikutnya saya ngekos lagi. Karena jadwal kuliah yang kurang bersahabat dengan saya. Itulah basecamp kami. Tempat biasa kami cekakak-cekikik, rame, heboh sendiri. Serasa kosan milik Maskers Lovers. Hehe.
Oya, Insyaallah di lain kesempatan saya akan menuliskan secara khusus tentag para anggota Maskers Lovers. Tentang Farha, Nia, Asiyah, Bili, Deniz, Nadia, dan Rini. Semoga masih ada sisa waktu untuk kita bertukar cerita lagi. Selamat hari kartini!
Tangerang, 21 April 2012
0 komentar:
Post a Comment