Oleh Yori Tanaka
Guru puisi saya,
Toto ST Radik pernah berkata, bahwa karya kita ibarat anak batin kita. Karena ia
ada dari proses penciptaan yang rumit, gabungan dari berpikir, berimajinasi,
menuangkannya dalam tulisan, mengeramnya untuk kemudian merevisinya sampai dirasa
benar-benar sempurna lalu jadilah sebuah karya. Karya tersebut bisa dalam bentuk
lembaran print out, bisa berupa buku atau
mungkin kolom di media massa.
Beberapa bulan
yang lalu, ketika FAM Indonesia mengadakan event
antologi Cinta Bernilai Dakwah di mana FAM Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada penulis Indonesia untuk mengirimkan karya berupa cerpen. Saya sangat antusias
menyambut event tersebut meskipun ketikaitu
saya mengirimkan karya saya didetik-detik akhir sebelum deadline. Alhamdulillah cerpen yang berjudul ‘Di Bawah Kaki Bapak’
lolos seleksi dan akan dibukukan oleh FAM Publishing.
Lalu takberselang
lama, saya terbang ke Pare, tepatnya ke Kampung Inggris. Di sana saya mengambil
program Speaking. Saat baru beberapa minggu di Pare, saya membaca lowongan magang
di blog FAM Indonesia. Saya sangat tertarik untuk bergabung dengan FAM yang
berkantor tak jauh dari Kampung Inggris, tepatnya di Jl. Mayor Bismo No. 22
Pare Kediri Jawa Timur. Saya pun mengajukan surat lamaran via e-mail. Keesokan harinya,
saya dihubungi oleh Sekjen FAM Aliya Nurlela. Dengan menumpang becak motor,
saya melenggang ke kantor FAM.
Jangan ditanya bagaimana
perasaan saya ketika melihat kantor FAM dan menginjakkan kaki di sana! Tentu saya
bahagia. Saya tidak pernah menyangka bisa berkunjung kesana dan bertemu Mbak Aliya.
Saya juga diberi kesempatan berbincang dengan Ketua Umum FAM Indonesia,
Muhammad Subhan. Meski hanya bicara via telepon, tapi perbincangan itu mewakili
kesetujuan beliau untuk menerima lamaran magangsaya. Wah! Saya ingin berjingkat.
Senang sekali. Saya pun mulai bekerja sebagai karyawan, bersama Gita (yang
jugabekerja di kantor).
Bekerja di
kantor FAM tidak seperti bekerja di kantor-kantor formal pada umumnya karena
kami bekerja dengan semangat kekeluargaan. Mbak Aliya dan Pak Subhan pun selalu
berpesan bahwa kehadiran kami di kantor bukan untuk bekerja tapi belajar. Ya,
di sana kami sama-sama belajar, menjadi fasilitator bagi para calon penulis Islami.
Namun sayang, proses belajar itu tak berlangsung lama. Saya mesti pulang ke Tangerang
karena akan melanjutkan studi S2. Saya pun berpamitan dengan Mbak Aliya dan Pak
Subhan dengan berat hati.
Perpisahan yang
mengarukan pun terjadi. Saya sangat berterimakasih kepada dua pendiri FAM
Indonesia tersebut. Mereka telah banyak memberikan motivasi dan pelajaran berharga
bagi saya terutama dalam dunia kepenulisan dan penerbitan buku. Saya pun pulang
dengan berbekal ilmu.Tak lama saya berada di rumah, saya melihat postingan di
grup facebook Forum Aishiteru Menulis.
Di sana dituliskan bahwa buku antologi Dari Sumarni Untuk Suparman telah selesai
dicetak dan segera dikirimkan ke alamat penulis. Saya menunggu dengan
debar-debar yang tak menentu. Bagi saya sebuah buku yang di dalamnya terdapat karya
kita adalah anak batin saya. Anak batin yang proses kelahirannya dibantu oleh
FAM Indonesia. Sejak ‘anak’ itu lahir, saya belum pernah melihatnya langsung. Saya
belum pernah menyentuh tiap lembar-lembarnya. Ah, saya sungguh penasaran dan tak
sabar menunggu kedatangan ‘anak’ itu di Tangerang. Sehari, duahari, seminggu,
duaminggu. Aiih, kenapa lama sekali ‘anak’ itu sampai ke rumah? Apakah ada masalah
di perjalanan? Apakah ‘anak’ itu hilang? Saya cemas. Saya pergi ke kantor Pos Mauk
dan menanyakan perihal kiriman buku dari Pare. “Belumada.” Begitu jawaban Pak
Anwar, salah satu pegawai kantor Pos. Saya lalu menghubungi Mbak Aliya dan dia memberikan
saya nomor pengiriman dari kantor Pos Pare. Saya pun segera menghubungi Pak
Anwar dan memberikan nomor pengiriman tersebut. Beliau berjanji akan segera menelusuri
keberadaan ‘anak’ saya. Tapi sampai beberapa hari belum juga ada kabar.
Lalu, di
satusiang, 20 Desember 2012, Pak Anwar menghubungi saya via SMS. “Yori. Paket bukumu
ternyata sudah diserahkan kekantor Kelurahan.” Saya senang sekaligus kecewa juga.
Kenapa mesti di kantor Kelurahan? Kenapa tidak langsung dikirim ke rumah saya? Saya
tak peduli lagi. Saya langsung ke kantor Kelurahan. Tapi saya terlambat,
kantornya sudah tutup. Lalu saya ingat ada tetangga saya yang bekerja di
Kelurahan. Saya tanyakan perihal paket dari pos itu. “Oya, saya yang terima paket
itu. Tapi saya nggak tahu kalau itu punyamu. Saya nggak hapal nama lengkapmu. Jadi
saya serahkan kepetugas yang lain.” Begitu katanya.
Tetangga saya itu
bersedia bertanggung jawab. Dia yang akan mengambilkan buku itu dan mengantarkan
ke rumah. Saya sedikit lega. Lalu setibanya di rumah, dia langsung meminta maaf
karena ternyata buku itu sudah agak rusak. Bungkus paketnya sudah dibuka, entah
siapa yang membukanya karena tidak ada yang mengaku. Cover bukunya sedikit tergores
dan terlipat. Ah, betapa hancur hati saya saat itu. ‘Anakbatin’ yang sekian
lama saya tunggu, saya rindukan kehadirannya, bahkan tak sabar untuk saya peluk,
ternyata sudah dijamah orang lain dan dirusak pula! Hiks. Awalnya saya kesal,
tapi Mama saya mengingatkan, “Jangan disesali, Alhamdulillah bukunya masih bisa
sampai di tangankamu, masih jadi milikkamu!” Ya, Mama benar. Meskipun ‘anak’
saya sudah tidak sempurna lagi. Tapi dia tetap ‘anak’ saya. Saya harus bersyukur
karena masih diberi kesempatan untuk melihat dan menyentuh ‘anak’ saya itu.
Tangerang,
25 Desember 2012
0 komentar:
Post a Comment