Cak Emak

Alhamdulillahna cicing dekeut kolot jeung kaluarga tea loba nu magahan, loba nu mamatahan. Bisa balajar langsung ka kolot nu geus loba pangalamana. Bisa ngadenge langsung ti emak, nu hirupna geus leuwih ti satengah abad, sabari mungkusan adonan salimut alias kue cau. “Ari boga anak, kudu bisa sabari digawe. Ari anak hees, ulah ilu hees. Ari anak keur anteng ulah sok diais-ais bae. Beusi bau lengeun, teu daek dilepaseun. Alhamdulillah Emak mah boga anak dalapan geh tilok bae pagawean di dapur katinggaleun.”
Salain eta, Emak magahan deui, “Yeuh, ari engke deuk nyieun salimut, ari tipungna dua mangkok, caina dua mangkok satengah. Ngeunaheun ari bisa jajieunan mah. Pan di imah loba anak, loba incu. Ari boga kadahareun ngan jeung sorangan doang mah teu reseup.”
Tah! Denge!

BEDA ITU, SERU!

Membaca lagi buku Personality Plus-nya Florence, mengingatkan pada cinta kanak-kanak, yang mendambakan pasangan yg berbeda. Sepertinya asyik. Dan sebagaimana berbedanya kita -aku dan kamu, si melankolis dan si sanguinis, si mudah tersinggung dan si periang- bukan hanya mimpi kanak-kanak, tapi garis takdir yg telah ditulis dalam kitab kehidupan jauh sebelum kita saling kenal. Dan seperti kata Slank, -walaupun kita selalu beda, kau bilang hitam, kubilang putih, kau suka langit, kusuka laut, tapi kita nggak boleh berantem- 
Begitulah. Perbedaan untuk saling melengkapi. Jadi, nggak usah takut besama yg beda. Seru loh! Qiqi..

API YANG TAK SEMPAT MENYALA

Laut, aku datang untuk membakar benci dan dendam. Pada penghianatan dan kebaikan yang tak pernah dianggap. Kenapa mesti baik pada mereka yang jahat? Katanya, itulah yg harus dilakukan manusia yang bijak. Tapi, kadang aku tetap menyimpan benci dan amarah. Sampai gulungan ombak membentur-benturkan diri ke karang. Aku sakit dan takut. Sebab marahku, tak sebanding dengan nasib buruk yang lain. Juga tak mengubah yang jahat menjadi baik. Bukan salah angin begitu kencang bertiup, mungkin agar api tak pernah sempat menyala.

CARA ALLAH MENJAWAB RINDU



Allah selalu menjawab rindu dengan cara yang indah. Kalimat itu yang menari dari pikiran saya sepanjang pulang dari Bukit Cimoyan, rumah sahabat saya Poetry Ann di Serang, Banten. Beberapa hari sebelumnya, kami berbincang lewat SMS soal kegiatan baru saya berjualan es dawet, es oyen dan es pisang selama Ramadan ini. Poerty bilang, ingin diajari membuat es-es tersebut. Mungkin karena saya orangnya kelewat serius, saya tidak menganggap ucapan Poetry sebagai candaan. Saya berazam, Insyaallah jika bertemu saya akan membagi pengalaman saya membuat dawet. Saat itu saya bergumam, “Kapan ya bisa ketemu Kak Poetry lagi? Mm..”
Rasanya agak sulit bisa ke Serang lagi dalam waktu dekat ini karena suami saya agak trauma dengan Serang. Hehe. Itu hal lain. Tapi dalam hati, saya ingiiiin sekali ke sana. Bertemu sahabat-sahabat saya yang sudah tiga tahun ini saling memotivasi dalam dunia kepenulisan.
Allah memang selalu menjawab doa hamba-Nya. Sepulang mengajar, pada Selasa (24/6) lalu, suami saya mengabarkan bahwa gurunya mengalami kecelakaan dan dirawat di RSUD Serang. Ia mengajak saya menjenguk. Serang memang bukan jarak yang dekat dari rumah kami di Tangerang. Butuh satu setengah jam untuk mencapai kota provinsi itu. Tapi, jika ada sesuatu yang penting atau motivasi besar lainnya, kami tak segan menempuh jarak sekitar 65 kilometer di siang yang terik sekali pun.
Kami berangkat dengan dua tujuan. Pertama, ke RSUD Serang. Kedua, ke Bukit Cimoyan, tempat Poetry Ann. Asyiiik! Akhirnya rindu saya akan segera lunas.
Akhirnya, kami pun sampai di rumah Poetry, istirahat sejenak dan memulai membuat dawet. Selesai itu, Yehan, sahabat kami juga, datang bergabung. Tapi sayang, kawan-kawan kami yang lain tidak bisa datang. (Maaf untuk Kak Ida yang tidak dihubungi. Hiks). 
Jika saja jarak pulang tak terlalu jauh, saya ingin berbuka puasa di rumah Poetry bersama Yehan. Tapi sayang, perjalanan panjang menuju rumah dengan ancaman jalan yang gelap dan sepi, kami pun pulang menjelang senja. Meski sebelumnya ada sedikit kisruh antara pulang atau tetap tinggal sampai azan magrib. Ditambah dengan ucapan Bapak Poetry Ann yang menyarankan kita berbuka saja di sana.
Keseruan tidak selesai sampai di situ. Di perjalanan pulang, aku sudah membayangkan bisa mampir di stand es buah pinggir jalan untuk melepaskan dahaga. Tapi, di lampu merah Ciruas, ada beberapa orang yang berbaris dan membagikan takjil gratis (es jelly ditambah selasih dan roti berwarna hijau).
“Nggak usah ngambil deh, Yah!” pinta saya pada Joe, suami saya.
Tapi Joe malah meper-meper dan saya disodorkan dua es dan dua roti oleh bapak berpeci putih. Rupanya ini pembagian takjil gratis dari salah satu partai Islam moderat. Di bungkus takjilnya, terdapat tulisan, mereka meminta didoakan agar bisa istiqomah melayani masyarakat. Hehe.
“Jadi, beli es buahnya nggak jadi?” saya bertanya sekaligus berharap.
“Nggak usah. Kan udah dapet!”
Saya agak kecewa sih! Tapi Joe memang benar. Di tangan saya sudah ada minuman dan makanan yang cukup untuk berbuka kami nanti. Saya pun menepis pikiran-pikiran buruk, (takut rasanya nggak enak lah, esnya udah nggak dingin lah dan lain-lain).
Saat mendengar azan, Joe meminggirkan motornya di halte Pontang. Kami minum dan merasakan betapa pahitnya tenggorokan kami. Hehe. Esnya pahit. Setelah rotinya saya coba, juga pahit. Subhanallah. Betapa indah berbuka puasa hari ini. Saya dan Joe hanya tersenyum tanpa berkomentar panjang lalu memutuskan mampir di warung pecel lele yang di sampingnya ada stand es buah. Tapi, karena stand es buahnya ramaiiii sekali, kami tidak jadi minum es. Hanya makan dan ditutup dengan suguhan teh hangat.
“Nasinya beda ya?” tanya Joe saat kami melanjutkan perjalanan.
Saya menahan tawa. Sejak tadi saya menahan komentar saya pada pecel lele itu karena  saya hapal betul sifat Joe yang tak pernah mau mencela makanan, saya takut diceramahi atau lebih parah ditegur olehnya. Tapi ternyata dia duluan yang berkomentar. Hehe.
“Kalau nggak laper-laper amat, nggak bakal habis deh makan nasi kayak gitu!” celetuk Joe lagi. “Jangan-jangan nasi plastik,” candanya.
Lalu, setelah sampai di Kronjo, Joe tergoda oleh minuman jahe susu yang dijajakan di depan minimarket. Sementara ia memesan jahe, saya juga melirik jus alpukat di seberangnya. Setelah kami mendapatkan minuman yang kami inginkan dan meminumnya, saya bertanya, “Enak?”.
“Cobain deh!” Joe menyodorkan seplastik jahe susunya.
“Nggak ah. Aku ada jus alpukat dong. Eh, enak nggak?” goda saya lagi.
“Alhamdulillah, nggak ada rasanya.”
Kami pun meledakkan tawa dan melanjutkan pertanyaan.
“Ih, ini kenapa jus alpukatnya asin ya?” ungkap saya setelah menyedot jus alpukatnya.
Kami tertawa lagi.
“Itu udah dibeli. Tanggung jawab loh, habisin!” saran Joe yang juga sudah menghabiskan jahe susu yang tidak ada rasanya itu. Hiks!
“Perasaan dari tadi dapet minuman sama makanan nggak ada yang asyik ya?” aku nyerocos lagi.
Pikiran nakalku berkelana. Coba saja tadi kami memutuskan berbuka di Cimoyan, mungkin akan lebih asyik. Hehe. Tak ada gunanya menyesali hal yang sudah kita putuskan bukan? Daripada saya terseret-seret dalam penyesalan, saya memilih mengingat kebahagiaan yang saya dapat hari ini: rindu saya yang terbayar dan dua azam kami yang sudah selesai ditunaikan.

Fahra dan Petokpetok


Ini teman kuliah saya. Boleh dibilang cewek paling unik di kelas. Saya sering memanggilnya Ustadzah sebab ia anak dr Bu Dra. Hj. Ustadzah Jundah Sulaiman, MA. Dosen kami di mata kuliah Ilmu Dakwah. Farha juga suka ceramah dan sering sharing soal ilmu agama dengan kami. Dia juga pernah mengajar di Masjid Raya Bani Umar Bintaro.

Meski hidup dari keluarga yang terbilang mapan, Farha termasuk perempuan yg kurang pede. Nggak cantik lah, nggak ini nggak itu lah. Tapi kalau sudah dekat dan dia sudah merasa nyaman, maka ia akan berubah jadi makhluk pede luar biasa. Dia akan menyanyi lagu-lagi kesukaannya, dia akan bercerita banyak hal (mulai dari ceritanya saat bayi yang dijemur dengan daun pisang dll), bahkan dia juga bisa menari india lengkap dengan musik dan selendangnya.

Yang paling berkesan, ketika ia maju ke depan kelas dan memamerkan kebolehannya dalam menirukan suara ayam. Petokpetokpetoooktoookpetoook. Seisi kelas riuh oleh tawa. Kami terpingkal sampai sakit perut. Hihi. Satu lagi, kebiasannya yang jadi ciri khasnya, yaitu kata 'mantaaaapp' yang ia ucapkan bila mengomentari sesuatu yang bagus atau keren sambil mengacungkan jempolnya ke udara. Itulah Farha, yang kadang rajin sekali memotivasi kami dengan dalil dalil Al-Quran dan Hadist, menghibur kami dengan nyanyian india dan petokpetoknya, sering juga membuat kami sebal karena terlalu polos dalam beberapa hal. Namun di luar itu, saya tetap kagum padanya sebagai sosok perempuan tangguh meski begitu banyak cobaan berat dalam hidupnya. Ia perempuan mandiri yang tidak perlu minta antar teman-teman lain untuk urusan-urusannya. Ia yang dengan pedenya menirukan suara ayam dan gaya mantapnya.


Kini, Farha sudah dilamar dan akan segera menikah pada 4 April mendatang. Ia disunting Kak Zulman, lelaki beruntung yang bisa mendapatkan perempuan hebat ini. Imajinasi saya meliar, bagaimana ya ekspresi Kak Zulman bila Farha bergaya petok petok di depannya? Hihiii.

CATCH THE FUTURE

“Meskipun berkecimpung di sekolah tidak pernah masuk daftar masa depanku, tapi ternyata kehidupan menyeretku ke sini. Bukan, bukan karena terpaksa, dipaksa atau karena tidak ada pilihan lain, tapi karena inilah yang ternyata jadi lompatanku untuk menggapai banyak cita-citaku yang lain! Hup! Catch the future!”

Sejak kecil, profesi guru tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita saya. Jika ada yang bertanya, maka saya akan menjawab, kalau sudah besar ingin jadi dokter. Keren sekali bisa jadi dokter, seperti bayangan saya sejak kecil. Tapi, setelah beranjak remaja, ternyata jadi dokter sudah tidak begitu menarik. Pertama, saya anjlok pada Fisika dan Kimia, dan nilai Matematika saya tak jauh dari menyedihkan.
Tanpa direncanakan, saya suka menulis. Di masa SMP, saya sudah rajin membuat coretan puisi (yang baru saya sadari saat kuliah kalau puisi-puisi itu masih mentah). Saya juga sering menulis curhatan harian di diary, dan tentu saja menulis surat. Dari surat lah saya menemukan kebebasan bercerita pada orang yang saya percaya. Dari surat pula saya bisa mengumpulkan kata-kata yang menuntut saya mencari banyak kosa kata.
Banyak yang bilang, surat saya hidup. Jika saya menulis cerita sedih, maka surat itu seolah menangis. Jika saya menulis kisah konyol, maka surat itu seperti terpingkal-pingkal. Mereka bilang, surat saya bukan seperti tulisan, tapi seolah saya hadir di depan mereka dan menceritakannya langsung.
Seiring dengan itu, saya juga mulai suka membaca, lalu menulis, dan ingin tulisan saya dibaca orang! Saya ingin jadi penulis. Dan mimpi itu pernah jauh tenggelam sampai akhirnya saya datang ke Rumah Dunia dan bergelut selama tiga tahun di sana. Berguru pada Gol A Gong dan Toto ST Radik serta kawan-kawan relawan lain. Alhamdulillah, cita-cita jadi penulis sedikit demi sedikit mewujud. Cerpen dan puisi mulai terbit di koran lokal dan nasional. Buku-buku mulai lahir meski baru sebatas anotologi kroyokan.
Begitulah sekilas tentang cita-cita saya, yang akhirnya juga menarik saya pada satu profesi lain. Tapi sebenarnya, profesi saran dari orang tua saya inilah yang membuat mimpi saya menjadi penulis semakin dekat. Suatu hari, Papa meminta saya mengajar di sekolah yang ia pimpin. Awalnya berat sekali karena saya pikir jadi guru itu susah, tantangannya besar, tugasnya berat : mencerdaskan anak bangsa dan mendidik agar berakhlak mulia. Meski saya merasa berat, toh saya terima juga tawaran tersebut. Dan saya mengajar.
Rupanya, keseharian saya di sekolah memunculkan banyak sekali inspirasi untuk dijadikan cerita. Bahkan kejadian sehari-hari pun bisa dituliskan. Ada satu novel worklit yang ingin saya garap. Idenya muncul ketika saya mulai menjabat sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.


Saya semakin percaya, Allah akan selalu mendekatkan kita pada mimpi. Meski jalan ke arah mimpi itu, tak pernah kita duga sebelumnya. 

Mimpi, Kenyataan yang Terjadi Nanti

“Cita-cita itu mimpi. Mimpi itu bisa disusun, bisa jadi nyata. Ya, saya sudah membuktikannya!”


Ingatan tetiba membawa saya pada ruang kelas di lantai 6. Saat saya dan rekan-rekan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) E, duduk dengan tegang di depan dosen pengampu mata kuliah Komunikasi Politik, Bapak Rachmat Baihaqi. Matahari sore berkilauan yang menembus jendela, membuat ketegangan sedikit meregang. Setidaknya buat saya.
Dosen yang sudah mengajar kami tiga semester berturut-turut ini, adalah dosen paling killer di kelas. Bahkan mungkin, ia menduduki peringkat terkiller pertama sejurusan. Tapi, anehnya, justru dosen inilah yang paling saya idolakan. Saya ngefans berat dan kepingin banget foto bareng beliau (sedihnya nggak pernah kesampaian sampai lulus kuliah).
Saya suka gayanya mengajar, saya suka suaranya yang besar dan badannya yang tinggi kekar. Dan yang paling saya ingat adalah senyuman dan tatapan menyiksa yang ia tujukan pada para mahasiswa setiap ia selesai membahas suatu materi. Ini adalah saat-saat paling tak nyaman. Karena jika kami tidak bisa menjawab pertanyaannya, ia akan tersenyum terus. Sambil mengungkapkan kalimat pamungkasnya, “Otak kamu tuh mesti disiksa!”
Sejak saat itulah, saya mengenal ritual menyiksa otak. Ritual yang harus saya pakai setiap kali belajar dengan beliau. Kami tidak boleh memanjakan otak kami, berkata tidak tahu, tidak mengerti, dan hal yang sama dengan itu. Kami harus terus berpikir, berpikir, dan berpikir terus. Sampai mentok. Sampai ngebul! Tapi, jujur, lama kelamaan saya merasa asyik menjalankan ritual tersebut.
Ada lagi, kalimatnya yang masih terngiang sampai saat ini. Ketika itu, banyak cewek cantik di kelas yang (maaf) hanya mementingkan fashion, make up, dan tampilan luarnya tanpa mengimbangi isi kepala mereka. Ketika Pak Beqi (begitu beliau sering disebut) mengajukan pertanyaan, dan para cewek cantik itu kaku dalam menjawab, dia dengan senyum dan tatapan menyiksanya, bilang begini : “Plis deh, jangan lunturkan kecantikan kamu dengan kebodohan kamu!”
Kalimat itu sangat menghentak. Seperti ada angin segar yang meniup otak saya. Sebelumnya, saya sering merasa nggak pede karena nggak cantik, nggak bisa dandan, nggak fashionable, dan lain-lain. Tapi, kalimat pak dosen itu kembali menyadarkan saya bahwa fisik bukan nomor satu untuk menjadikan seseorang itu menarik. Tapi, kecerdasan pikiran dan kepribadianlah yang jauh lebih penting.
Satu peristiwa yang paling tak bisa saya lupakan (karena ini membuat saya malu), adalah ketika kami kuliah bersama dengan kelas KPI yang lain. Auditorium lantai 2 penuh sesak, saya duduk agak jauh dari panggung. Berharap, dengan jarak yang cukup jauh itu, pak dosen tak berselera melemparkan pertanyaan pada saya (seperti yang selalu ia lakukan di kelas). Hingga saat ritual menyiksa otak itu tiba, beberapa teman di kelas lain kena tembakannya. Lalu ada pertanyaan yang lumayan sulit yang belum bisa dijawab siapa pun. Saya menunduk dalam (setelah sebelumnya sempat mengarahkan pandangan ke arahnya). Lalu, tetiba pak dosen bilang, “Hmm, saya tahu nih trik dia. Dari tadi nunduk terus supaya nggak ditanya.” Saya mengangkat kepala, mencari siapa di antara kami yang dimaksud beliau. Sampai beliau menyebutkan satu nama, “Anwar!”
Saya seperti kena strum. Beliau memanggil saya. Ya, beliau senang sekali memanggil nama belakang saya dibanding nama depan saya. Semua orang dalam auditorium mencari orang yang dimaksud beliau. Dan beliau sudah memasang senyum paling mematikan. Bukannya menjawab, saya malah hanya bisa tersenyum, malu. Dan mulai saat itu, saya tidak lagi berani menunduk untuk mengelabuinya karena ia sudah tahu kunci trik saya.

Mengidolakan ia, sempat menerbitkan keinginan di hati saya untuk sepertinya. Dan tanpa disangka, kini apa yang saya dambakan jadi kenyataan. Saya mengajar mahasiswa UNMA Banten dan beberapa metode pembelajaran dari Pak Beqi saya pakai di kelas. Diskusi kelompok baca, ritual menyiksa otak, dan lain-lain. Kadang, saya tersenyum sendiri di kelas bila ingat tiga semester bersama beliau. Sungguh mengesankan.