Teori post-strukturalisme adalah teori
yang dianggap sebagai kelanjutan, perbaikan dan perkembangan dari teori
strukturalisme. Karena banyak pandangan post-strukturalisme yang dipengaruhi
oleh strukturalisme. Meskipun begitu, post-strukturalisme tetap memiliki
beberapa pandangan yang jauh berbeda dari strukturalisme.
Salah satu tokoh pemikir
Post-strukturalisme adalah Michel Foucault. Foucault adalah seorang filsuf,
sosiolog, dan sejarawan abad ke-20. Fokus pemikirannya adalah tentang diskursus
dan kekuasaan. Dikursus adalah suatu wacana atau penjelasan, pendefinisian,
pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem-sistem
abstrak pemikiran (Aur, 2005). Menurut Foucault, wacana berbicara mengenaiaturan-aturan,
praktek-praktek yang menghasilkan pernyataan-pernyataan yang bermakna pada satu
rentang historis tertentu (Adian, 2002).Wacana juga sangat erat kaitannya
dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan Foucault bukan suatu struktur
politis seperti pemerintah (Haryatmoko, 2002). Namun kekuasaan tersebut adalah
kekuasaan yang bersifat mendominasi, menghegemoni, dan tersebar, terdapat pada
setiap aspek kehidupan. Dominasi merupakan sebuah pelaksanaan kekuasaan oleh
semua elemen yang memiliki kepentingan tertentu yang memaksakan wacananya, budayanya, atau
ideologinya agar diterima dan diikuti oleh masyarakat sasarannya.
Sebagai suatu pendefinisian atau
pemikiran tentang pengetahuan, wacana menjadi alat yang cukup efektif untuk memengaruhi
pola pikir masyarakat dan hal tersebut tentu saja merupakan tujuan dari
kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan mendayagunakan wacana sebagai media
untuk menguasai masyarakat, karena wacana merupakan hal yang pasti berkembang
di masyarakat, menimbulkan ideologi-ideologi yang tujuannya tidak lain untuk menghegemoni
masyarakat.
Contoh yang sangat dekat dengan
kehidupan kita sehari-hari adalah image
keren yang ditampilkan artis-artis muda. Keren menurut mereka (yang juga
memaksakan pola pikir kita bahwa mereka memang keren), yaitu orang-orang yang
memiliki ponsel blackberry. Ini adalah sebuah wacana yang berkembang yang
secara tidak disadari memaksakan pola pikir kita bahwa untuk menjadi “keren”
maka harus memiliki ponsel blackberry. Contoh lainnya adalah konsep cantik
menurut iklan-iklan pemutih kulit. Iklan tersebut menampilkan wanita-wanita
berkulit cantik, putih, bebas flek hitam dan sebagainya. Akhirnya iklan
tersebut menjadi sebuah wacana tentang standar kecantikan wanita. Ini adalah
sebuah ideologi yang dipaksakan. Sehingga wanita-wanita korban iklan tersebut
berduyun-duyun membeli produk-produk kecantikan. Padahal seperti yang kita
tahu, bahwa kecantikan adalah hal yang bersifat sangat relatif. Artinya
tergantung dari siapa yang menilai dan dari sudut pandang apa. Jadi dibalik
wacana tersebut ada kekuasaan yang bersembunyi yang bertujuan untuk menggali
keuntungan.
Selain wacana, yang juga memiliki
hubungan erat secara timbal balik dengan kekuasaan adalah pengetahuan. Seperti
istilah yang sangat populer, “the
knowledge is power”. Pengetahuan akan mengantarkan seseorang pada
kekuasaan. Dan kekuasaan bisa mengatur perkembangan pengetahuan. Salah satu
contoh yang familiar adalah ketika Galileo dan Copernicus menyatakan bahwa bumi
itu bulat. Pengetahuan tersebut bertentangan dengan pernyataan pihak
cendikiawan gereja yang menganggap bumi itu datar. Pihak gereja yang pada saat
itu memiliki kekuasaan dan menganggap pengetahuan merekalah yang paling benar,
maka Galileo dan Copernicus menjadi ilmuan yang dimusuhi bahkan dihukum mati.
Padahal pengetahuan tentang bumi adalah bulat merupakan sebuah fakta dari
penelitian mereka. Disini terlihat jelas bahwa pihak-pihak yang berkuasa itu
kadang bersifat angkuh serta merasa paling benar. Pengetahuan yang didominasi kekuasaan
maka akan menjadi hal yang dianggap kebenaran oleh kaum mayoritas, sehingga
muncullah tudingan bahwa kaum yang kontra terhadap kebenaran yang diusung suatu
kekuasaan itu merupakan kaum minoritas yang salah.
0 komentar:
Post a Comment