Allah selalu menjawab rindu
dengan cara yang indah. Kalimat itu yang menari dari pikiran saya sepanjang
pulang dari Bukit Cimoyan, rumah sahabat saya Poetry Ann di Serang, Banten.
Beberapa hari sebelumnya, kami berbincang lewat SMS soal kegiatan baru saya berjualan
es dawet, es oyen dan es pisang selama Ramadan ini. Poerty bilang, ingin
diajari membuat es-es tersebut. Mungkin karena saya orangnya kelewat serius,
saya tidak menganggap ucapan Poetry sebagai candaan. Saya berazam, Insyaallah
jika bertemu saya akan membagi pengalaman saya membuat dawet. Saat itu saya
bergumam, “Kapan ya bisa ketemu Kak Poetry lagi? Mm..”
Rasanya agak sulit bisa ke Serang
lagi dalam waktu dekat ini karena suami saya agak trauma dengan Serang. Hehe.
Itu hal lain. Tapi dalam hati, saya ingiiiin sekali ke sana. Bertemu
sahabat-sahabat saya yang sudah tiga tahun ini saling memotivasi dalam dunia
kepenulisan.
Allah memang selalu menjawab doa
hamba-Nya. Sepulang mengajar, pada Selasa (24/6) lalu, suami saya mengabarkan
bahwa gurunya mengalami kecelakaan dan dirawat di RSUD Serang. Ia mengajak saya
menjenguk. Serang memang bukan jarak yang dekat dari rumah kami di Tangerang.
Butuh satu setengah jam untuk mencapai kota provinsi itu. Tapi, jika ada
sesuatu yang penting atau motivasi besar lainnya, kami tak segan menempuh jarak
sekitar 65 kilometer di siang yang terik sekali pun.
Kami berangkat dengan dua tujuan.
Pertama, ke RSUD Serang. Kedua, ke Bukit Cimoyan, tempat Poetry Ann. Asyiiik!
Akhirnya rindu saya akan segera lunas.
Akhirnya, kami pun sampai di
rumah Poetry, istirahat sejenak dan memulai membuat dawet. Selesai itu, Yehan,
sahabat kami juga, datang bergabung. Tapi sayang, kawan-kawan kami yang lain tidak bisa datang. (Maaf untuk Kak Ida yang tidak dihubungi. Hiks).
Jika saja jarak pulang tak terlalu jauh,
saya ingin berbuka puasa di rumah Poetry bersama Yehan. Tapi sayang, perjalanan
panjang menuju rumah dengan ancaman jalan yang gelap dan sepi, kami pun pulang
menjelang senja. Meski sebelumnya ada sedikit kisruh antara pulang atau tetap
tinggal sampai azan magrib. Ditambah dengan ucapan Bapak Poetry Ann yang
menyarankan kita berbuka saja di sana.
Keseruan tidak selesai sampai di
situ. Di perjalanan pulang, aku sudah membayangkan bisa mampir di stand es buah
pinggir jalan untuk melepaskan dahaga. Tapi, di lampu merah Ciruas, ada
beberapa orang yang berbaris dan membagikan takjil gratis (es jelly ditambah
selasih dan roti berwarna hijau).
“Nggak usah ngambil deh, Yah!”
pinta saya pada Joe, suami saya.
Tapi Joe malah meper-meper dan saya disodorkan dua es
dan dua roti oleh bapak berpeci putih. Rupanya ini pembagian takjil gratis dari
salah satu partai Islam moderat. Di bungkus takjilnya, terdapat tulisan, mereka
meminta didoakan agar bisa istiqomah melayani masyarakat. Hehe.
“Jadi, beli es buahnya nggak
jadi?” saya bertanya sekaligus berharap.
“Nggak usah. Kan udah dapet!”
Saya agak kecewa sih! Tapi Joe
memang benar. Di tangan saya sudah ada minuman dan makanan yang cukup untuk
berbuka kami nanti. Saya pun menepis pikiran-pikiran buruk, (takut rasanya
nggak enak lah, esnya udah nggak dingin lah dan lain-lain).
Saat mendengar azan, Joe
meminggirkan motornya di halte Pontang. Kami minum dan merasakan betapa
pahitnya tenggorokan kami. Hehe. Esnya pahit. Setelah rotinya saya coba, juga
pahit. Subhanallah. Betapa indah berbuka puasa hari ini. Saya dan Joe hanya
tersenyum tanpa berkomentar panjang lalu memutuskan mampir di warung pecel lele
yang di sampingnya ada stand es buah. Tapi, karena stand es buahnya ramaiiii
sekali, kami tidak jadi minum es. Hanya makan dan ditutup dengan suguhan teh
hangat.
“Nasinya beda ya?” tanya Joe saat
kami melanjutkan perjalanan.
Saya menahan tawa. Sejak tadi
saya menahan komentar saya pada pecel lele itu karena saya hapal betul sifat Joe yang tak pernah
mau mencela makanan, saya takut diceramahi atau lebih parah ditegur olehnya.
Tapi ternyata dia duluan yang berkomentar. Hehe.
“Kalau nggak laper-laper amat,
nggak bakal habis deh makan nasi kayak gitu!” celetuk Joe lagi. “Jangan-jangan
nasi plastik,” candanya.
Lalu, setelah sampai di Kronjo, Joe
tergoda oleh minuman jahe susu yang dijajakan di depan minimarket. Sementara ia
memesan jahe, saya juga melirik jus alpukat di seberangnya. Setelah kami
mendapatkan minuman yang kami inginkan dan meminumnya, saya bertanya, “Enak?”.
“Cobain deh!” Joe menyodorkan
seplastik jahe susunya.
“Nggak ah. Aku ada jus alpukat dong.
Eh, enak nggak?” goda saya lagi.
“Alhamdulillah, nggak ada
rasanya.”
Kami pun meledakkan tawa dan
melanjutkan pertanyaan.
“Ih, ini kenapa jus alpukatnya
asin ya?” ungkap saya setelah menyedot jus alpukatnya.
Kami tertawa lagi.
“Itu udah dibeli. Tanggung jawab
loh, habisin!” saran Joe yang juga sudah menghabiskan jahe susu yang tidak ada
rasanya itu. Hiks!
“Perasaan dari tadi dapet minuman
sama makanan nggak ada yang asyik ya?” aku nyerocos lagi.
Pikiran nakalku berkelana. Coba
saja tadi kami memutuskan berbuka di Cimoyan, mungkin akan lebih asyik. Hehe.
Tak ada gunanya menyesali hal yang sudah kita putuskan bukan? Daripada saya
terseret-seret dalam penyesalan, saya memilih mengingat kebahagiaan yang saya
dapat hari ini: rindu saya yang terbayar dan dua azam kami yang sudah selesai
ditunaikan.