Dunia Tak Selebar Daun Kelor?

Di akhir Desember 2012, Saya bertegur sapa lewat pesan singkat dengan Rendra Pirani, anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia dengan nomor ID 735S. Saya mulai mengenal Rendra ketika aktif magang di kantor pusat FAM, di Jl. Mayor Bismo No. 22 Pare Kediri Jawa Timur. Ketika itu saya sedang menyalin data anggota FAM, di deretan nama-nama itu, saya melihat nama Rendra Pirani yang berasal dari daerah yang sama dengan saya, Kabupaten Tangerang. Didorong keingintahuan dan latar beakang geografis yang sama antara saya dan Rendra, saya pun mulai berkenalan denganya via facebook. Dari percakapan di facebook lah saya tahu bahwa rumah Rendra tak terlalu jauh dari rumah saya. Rumahnya di kampung Babulak, sebuah kampung di pesisir pantai Tanjung Kait. Salah satu objek wisata bahari yang dimiliki Tangerang. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit dengan sepeda motor. Sejak saat itu pula, saya berazam, jika suatu saat saya pulang, saya ingin bertemu dengannya. 
Ternyata waktu mengijinkan saya bertemu dengan Rendra pada 3 Januari 2012. Setelah sebelumnya mengikat janji untuk melangsungkan pertemuan di halaman Perpusatakaan Daerah Kecamatan Mauk. Tempat tersebut cukup strategis karena terletak di lingkungan kantor kecamatan. Rendra juga mengajak teman-temannya dari SMAN 2 Kabupaten Tangerang. Salah satu sekolah favorit di tempat kami. Siang itu, saya datang terlambat karena ada kawan lama yang mesti saya temani di rumah. Ditambah lagi, cuaca yang kurang mendukung (saat itu hujan turun agak deras). Tapi, setelah hujan reda dan kawan saya pulang, saya segera meluncur ke Perpustakaan Daerah. Saya parkirkan Vario hitam di halaman Perpustakaan. 
Renda langsung menyadari kehadiran saya dan melambaikan tangannya. Dia tengah duduk bersama kedua temannya di sisi lapangan, di bawah pohon rindang. Mereka menyambut saya dengan hangat. Kami bertukar salam dan sapa. Sambil menunggu teman Rendra yang lain, kami ngobrol ringan seputar ketertarikan kami pada dunia menulis. 
“Saya tuh suka baca, tapi menuliskannya yang agak sulit,” celoteh Yeyen. 
“Kalau saya kebalikannya, Mbak. Saya lebih suka nulis, tapi nggak suka baca,” ungkap Lia sambil tertawa. 
“Membaca itu adalah bahan bakar untuk kita menulis. Membaca saja tanpa menulis rasanya kurang asik. Dan menulis tanpa membaca, tulisan kita tidak akan kaya. Jadi, kalau kita ingin menjadi penulis, maka kita harus mau membaca!” Saya menanggapi. 
Setelah satu teman yang ditunggu datang, kami memutuskan untuk berkumpul di rumah saya. Dengan senang hati saya mengajak mereka ke rumah. Di perjalanan, Lia dan Yeyen yang saya boncengi, bertanya,
“Emang rumah Mbak di mana sih?”
“Di Jati,”
“Jatinya di sebelah mana? Rumah kita juga kan di Jati, Mbak!” 
“Di belakang Masjid Al Mujahidin,”
Lalu kami sampai, duduk di ruang depan dan memulai lagi percakapan. Saat itulah kami sama-sama tahu, bahwa kami pernah bersinggungan secara tidak langsung sebelumnya. Lia dan Yeyen adalah sepupu kakak kelas saya semasa SMP. Bahkan Lia dan Yeyen pernah latihan bersama adik-adik saya di esktrakulikuler taekwondo. Benarkan dunia tak selebar daun kelor? Itu pertanyaan yang muncul di benak saya. Pertanyaan yang sedikit mengganggu konsentrasi saya. Tapi kemudian, saya menepis pertanyaan itu seraya berazam untuk menuliskannya. Dan Alhamdulillah, azam tersebut telah terlaksana. Saya telah menuliskannya dan membaginya pada kawan-kawan semua.

Salam Karya,
Yori Tanaka
Unlike · 

0 komentar:

Post a Comment