Meriahnya Reruntuhan Baluwarti

Oleh Anna Lestari

Hari Para Penyair

Percikan semangat mewarnai keberangkatan saya ke Rumah Dunia, Jumat (26/7). Pasalnya Nyenyore hari ke lima ini akan sedikit berbeda. Pada Hari Puisi Indonesia itu, 22 penyair yang puisinya tergabung dalam antologi Reruntuhan Baluwarti diundang ke Rumah Dunia untuk merayakan hari puisi sekaligus meluncurkan buku terbitan Gong Publishing tersebut.
Meskipun tidak semua penyair Reruntuhan Baluwarti hadir, setidaknya sederet penyair senior Banten seperti Toto ST Radik, Qizink La Aziva, Rahmat Heldy HS dan Tias Tatanka datang dan berdiskusi di sana. Turut hadir juga para penyair muda seperti Abdul Salam HS, Ahmad Wayang, Ardian Je, Hilman Sutedja, Poetry Ann, Nindya Syahra, Hardia Rayya dan lain-lain. Sedangkan Gol A Gong dan Firman Venayaksa tidak bisa hadir karena harus mengikuti kegiatan Forum Taman Bacaan Masyarakat di Makkasar, Sulawesi Selatan.
Kami semua antusias mendengarkan pemaparan dari Sofiyan, nara sumber dan pendiri halaman sastra Banten Raya. “Saya senang diberi kesempatan oleh Gol A Gong untuk membedah buku ini, saya baca semua puisi-puisinya. Buku ini didominasi puisi protes tentang kondisi Banten yang pragmatis,” komentar Sofiyan. “Saya bangga, budaya literasi di Banten sudah tumbuh pesat,” tambahnya.
Selain membedah buku, wartawan yang tinggal di Tangerang itu juga membuka rahasia ‘dapur’ halaman sastra Banten Raya. “Saya tidak takut kehabisan kiriman puisi setiap minggunya. Banyak sekali yang mengirimkan puisi, tidak hanya penyair-penyair yang namanya sudah banyak didengar, nama-nama baru yang karyanya bagus juga banyak yang mengirim ke Banten Raya. Meskipun baru, jika karyanya bagus maka akan saya muat. Tapi sayangnya, untuk kiriman essai atau kritik sastra masih kurang. Tidak jarang saya sendiri yang akhirnya menulis essai di sana.”
Sofiyan pun kebanjiran pertanyaan dan saran dari peserta Nyenyore yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Selain itu, Qizink La Aziva juga membagi pengalamannya saat mengasuh halaman sastra di Radar Banten.
“Saya tahu, mengelola halaman sastra adalah pekerjaan yang berat. Semoga Sofiyan kuat sehingga halaman sastra ini bisa terus bertahan,” ungkap editor radarbanten.com ini.


Mengenang Chairil
Chairil Anwar, penyair yang ingin hidup seribu tahun lagi lahir 26 Juli 1922. Meskipun ia wafat di usia muda, tetapi namanya masih hidup sampai saat ini.
“Hari Puisi Indonesia dirayakan setiap tanggal 26 Juli, bertepatan dengan hari lahir Chairil. Hal ini dilakukan untuk mengenang Chairil,” ungkap Toto ST Radik, penyair senior, kurator buku Reruntuhan Baluwarti saat diberi kesempatan bicara di depan.
Sayangnya penulis buku Sokrates Atawa Telunjuk Miring Di Kening ini tidak bisa mengikuti acara sampai selesai karena ada keperluan lain yang tak bisa ditinggalkan.

MC Merangkap Penyair
Suasana Nyenyore semakin seru ketika anak-anak Rumah Dunia tampil membacakan puisi. Disusul beberapa penyair Reruntuhan Baluwarti. Tak ketinggalan, Rahmat Heldy HS, pembawa acara dengan kostum batik ungu itu menyegarkan suasana Hari Puisi Indonesia dengan guyonannya. Kekeliruannya dalam menyebutkan beberapa nama penyair juga mengundang gelak tawa. Di akhir acara, beberapa menit sebelum azan magrib, dosen UNBAJA yang akrab disapa Rahel ini pun membacakan puisinya.
“Pembacaan puisi yang terakhir, dari penyair professional. Yakni saya sendiri,” guraunya. Kami pun tertawa dan bertepuk tangan riuh. 
***
Proses Kreatif ‘Riwayat Ranting yang Mati’
Sejak informasi rencana pembuatan antologi Reruntuhan Baluwarti ini diposting di grup Rumah Dunia Kreatif (RDK), saya agak pesimis untuk mengikutinya karena stok puisi sosial saya sudah habis sementara deadline (DL) pengumpulan puisi sudah dekat. Tapi ternyata, DL-nya diperpanjang (awalnya 1 Juli, jadi 17 Juli). Saya pun segera menyusun diksi yang terserak, mencari-cari inspirasi dengan membaca koran lokal Banten, googling, dan lain-lain. Dalam keadaan terdesak itu, lahirlah beberapa puisi puisi (Kampung Puso, Riwayat Ranting yang Mati, Geliat Cisadane). Dengan ha berdebar (karena puisi ini akan dikuratori oleh guru puisi kamu, Toto ST Radik), saya pun mengirimkan puisinya tepat pada tanggal 17.
Inspirasi puisi ‘Riwayat Ranting yang Mati’ saya dapatkan dari foto yang saya ambil di lapangan parkir salah satu kampus di Ciputat beberapa waktu lalu. Saya pun menghubungkan gambar itu dengan realitas yang saya lihat di sana.

Riwayat Ranting yang Mati

Ada ranting yang mati
di halaman kampus sang wali
bertapa di himpitan kota
di tengah ribuan mahasiswa

Kita pongah di sana
di muka jendela lantai enam
menunggu waktu memecah
pada ingatan tentang lembar-lembar makalah

Ingatkah pesan mahaguru?
kita diminta membaca riwayat
saat segalanya sibuk berkejaran dengan nilai
demo aktivis kampus
dan kakus yang tak juga terurus

Ingatkah kita pada tulisan di dinding
dekat mushola
tempat kita duduk, tidur dan bergosip ria

Ah, rupanya kita lupa
mahaguru bijak itu
tahu apa yang ia tahu
dan yang tidak ia tahu
mengirimkan amanatnya pada kita
agar mau membaca riwayat
ranting yang mati
di halaman kampus sang wali

2013


0 komentar:

Post a Comment