Surat Cinta untuk Darul Istiqomah (Part 1)

Menjelang magrib, saat duduk di teras rumah, tiba-tiba berkelebat di benak saya bayangan gunung Pulosari yang megah yang pernah menjadi pemandangan yang saya nikmati beberapa pekan di Desa Kalang Gunung, Cipeucang Pandeglang. Ketika itu, saya singgah di pesantren satu-satunya di desa tersebut, pesantren tradisional yang diasuh oleh KH. Tubagus Uwet Bueti. Darul Istiqomah nama pesantren yang letaknya ditengah-tengah pemukiman warga itu. 

Kedatangan saya ke Darul Istiqomah Maret 2012 lalu, bukan untuk mendaftar sebagai santri (karena semua santrinya laki-laki). Bukan juga untuk menjenguk saudara atau pun kerabat yang menimba ilmu di sana, meskipun ada beberapa teman yang menjadi santri di sana. Skripsi. Itulah alasan saya ke sana! Ya, karya ilmiah sebagai tugas akhir saya sebagai mahasiswa itu, saya susun dari sana. Dari pesantren tradisional di Kalang Gunung.
Komunikasi spiritual. Itulah yang menjadi masalah penelitian saya. Tapi tulisan ini tidak saya maksudkan untuk membahas perihal komunikasi spiritual antara santri dan kyai di pesantren tradisional. Melainkan tentang Darul Istiqomah dan kerinduan saya pada suasana di sana. 

Kak Adi, adalah orang yang menjadi mediator sehingga saya bisa berada di sana. Dia adalah kakak kelas saya semasa sekolah yang sudah lebih dari lima tahun menimba ilmu di Darul Istiqomah. Dia menjabat sebagai lurah, sebutan untuk ketua santri di sana. Dia pula yang mengurus segala perijinan saya selama di sana. 
Deg-degan. Itulah perasaan awal saya saat tiba di muka gang Selawe. Gang menuju Desa Kalang Gunung. Di sana Kak Adi menjemput saya dan mengenalkan saya pada Bu Lili, ketua majelis ta’lim Darul Istiqomah yang masih kerabat KH. Tubagus Uwet Bueti. Di rumah beliau lah saya tinggal beberapa pekan. Bu Lili punya dua anak, satu laki-laki, bekerja di Tangerang. Satu lagi masih kuliah di UNMA Banten. Kedua anaknya hanya pulang akhir pekan. Jadi selama senin sampai jumat saya hanya berdua saja dengan Bu Lili. Rumahnya yang asri itu membuat saya betah. Setiap pagi, saat membuka jendela, cahaya matahari akan menyusup ceria dengan udara dingin dan segar yang dimiliki tanah Pandeglang. Malam hari, suara jangkrik dan tokek sering terdengar. Beda sekali suasananya dengan di rumah sendiri. Ada kalanya, di malam-malam sendiri itu, saya merindukan kampung halaman. Rindu keluarga. Tapi Alhamdulillah, Bu Lili sosok pribadi yang hangat dan care. Kami sering ngobrol apa saja untuk menghabiskan waktu. Rasa rindu saya pada rumah jadi bisa ditahan. Mengenal Bu Lili, bukan hanya sekadar mengenal ibu rumah tangga biasa. Beliau seorang single parents yang menghidupi keluarganya dari keterampilan merias pengantin yang dimiliki beliau. Selain sebagai perias pengantin, Bu Lili juga memiliki beberapa petak sawah. Selain itu beliau juga aktif di organisasi PKK. 

Selain mengenal Bu Lili, saya juga mengenal KH. Tubagus Uwet Bueti. Duh, sumpah saya belum pernah punya urusan dengan kyai. Apalagi kyai dari pesantren tradisional yang saya pikir akan menyeramkan dan anti pada perempuan yang tidak nyantri seperti saya. Tapi dugaan saya seratus persen meleset! Abah Haji, begitu panggilan akrab beliau, sungguh ramah dan terbuka. Beliau juga humoris, senang bercanda. Bila sedang tidak ada kesibukan, beliau dengan senang hati bersedia diwawancara dan menceritakan banyak hal kepada saya. Beliau menceritakan bahwa perjuangan orang-orang salafiyah tidaklah mudah. Banyak hinaan dan cemoohan yang harus mereka terima sebagai orang yang dianggap tidak modern, kolot dan semacamnya. Tapi saya pikir, itu hanya stereotip saja, sebab bila kita mau mengenal lebih dekat, mereka itu (orang-orang salafiyah) berpikiran maju ke depan, bahkan tak jarang mereka memberikan analisis yang sangat tajam pada fenomena-fenomena yang terjadi di abad modern ini. Mereka juga tidak pernah ketinggalan informasi luar. Tapi mereka punya alasan yang kuat kenapa mereka tetap teguh pada prinsip hidup orang-orang salafiyah. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan anggapan bahwa mereka kuno dan semacamnya.  Mereka menjauhi perdebatan sebab perdebatan sepertinya hanya membuang-buang waktu. Mereka hanya yakin, suatu saat, waktu juga lah yang akan membuat orang-orang paham bahwa kita punya pilihan hidup masing-masing. Talk less, do more. Begitulah kira-kira prinsip hidup yang saya tangkap dari beliau. 

Selain mengenal keluarga Abah Haji, saya juga senang bisa mengenal mamang-mamang santri Darul Istiqomah. Berkenalan dengan mereka membuka cakrawala baru bagi saya, ternyata kehidupan pesantren tradisional itu masih diminati anak-anak muda. Mereka juga punya mimpi, menghidupkan dan melestarikan budaya salafiyah. Bagi saya itu keren! Masih banyak orang yang dengan pede-nya bertahan dengan ke-salafiyahannya. Semua dari mereka bersahabat. Sukarela membantu saya, mau diwawancara, mau membagi ilmu dan pengalamannya. Dan sebagai bonus mereka mau berkawan baik dengan saya! Meski ada hal yang saya sesalkan, di hari terakhir, saat saya pulang ke rumah, saya tidak berpamitan pada mereka sebab saya pulang saat mereka masih sibuk dengan aktivitas masing-masing dan saya buru-buru. Maka untuk menebus rasa bersalah saya, saya ingin mengenang mereka lewat tulisan ini. 

#Mang Adi alias Kak Joe alias Kak Adi alias Jaro atau Lurah Kobong
Mang Adi ini sepertinya yang paling repot mengurus saya. Dia yang meminta ijin pada Abah Haji, Bu Lili, mengumpulkan santri-santri, menanyakan apa saja yang saya perlukan, memberikan akses-akses untuk memudahkan kerja saya di sana. Dia juga mengenalkan saya pada Novi dan Kokom, dua remaja yang tinggal tak jauh dari Darul Istiqomah yang biasa menemani saya selepas isya atau menemani saya jalan-jalan sore.

#Bang Surya
Bang Surya, cowok tinggi dan kalem ini adalah santri senior dari Lampung. Bang Surya termasuk santri yang dekat dengan keluarga Abah. Saya masih ingat, hari pertama saya ke sana, Bang Surya sedang asyik dengan tumpukan piring di depan bak cuci. Saat itu saya merasa aneh, ada cowok cakep pake sarung asyik nyuci piring. Hehee. Setelah selesai dengan piring-piringnya, dia menyapa saya dan saat itu pula saya tahu dia lelaki baik. Tuit tuiiit.

#Bang Dahlan
Bang Dahlan ini lucu. Dia banyak tertawa saat bicara. Saya yakin, semua orang yang bertemu dia akan langsung ikut nyengir karena wajahnya selalu sumringah. Bang Dahlan ini sudah lama sekali nyantren. Lebih dari lima belas tahun. Dia dikirim ke pesantren sejak SD. Awalnya dia juga merasa tidak betah, setiap hari termenung di kamar. Tapi lama kelamaan betah juga bahkan sampai sekarang, dia memilih hidup di Kalang Gunung. Selain mengaji, aktivitas Bang Dahlan ini adalah mengurus kebun dan sawah milik Abah Haji.

#Kak Hasan
Kak Hasan adalah anak kedua Abah Haji. Saya pernah bertemu Kak Hasan sebelumnya ketika dia main ke Tangerang bersama Kak Adi. Kak Hasan yang seumuran dengan saya itu pendiam sekali. Dia hanya bicara seperlunya. Tapi meskipun pendiam, dia suka jalan-jalan. Dan lelaki lulusan SMK ini suka otomotif dan malah bercita-cita ingin berdikari, membuka bengkel sendiri. Hehe.

#Alvin Maulana
Alvin. Yang saya ingat dari Alvin adalah rambutnya yang agak panjang. Tidak gondrong memang tapi panjangnya sekitar leher. Dan saya pangling sekali waktu melihat foto-foto Alvin saat ini, rambutnya pendek dan itu membuat dia terlihat lebih cakep. Hehe. Alvin ini pernah berhenti dari Darul Istiqomah karena bekerja tapi kini dia sudah kembali lagi ke Darul Istiqomah.

#Fandi
Satu orang lagi yang membuat saya pangling adalah Fandi. Wajahnya berbeda! Entah, mungkin dulu saya yang kurang teliti mengamati wajahnya atau memang ada sedikit perubahan dari wajah Fandi. Tapi yang pasti, Fandi juga turut menyukseskan penelitian saya di sana.
Terimakasih yaa, semua.. Miss you all. (Besambung) 

Like ·  · 

0 komentar:

Post a Comment