Kemaraunya Nyarang

Oleh Anna Lestari 

Semangat lokalitas mulai menggeliat di kalangan penulis muda beberapa tahun terakhir. Sebut saja Curhat Anak Bangsa yang ditulis oleh Hilal Ahmad dan kawan-kawan penulis nusantara yang mengusung tema lokalitas (mengangkat tradisi dan warna budaya suatu tempat). Juga ada La Rangku, karangan Niduparas Erlang yang sarat warna budaya kebantenan. Hal yang sama juga dilakukan Hilman Sutedja dalam buku tunggalnya yang berjudul Nyarang. Pemilihan kata Nyarang sebagai judul buku dirasa cukup tepat karena selain mengangkat bahasa Sunda Pandeglang, Nyarang juga jarang diketahui artinya oleh orang-orang di luar Pandeglang. Sehingga menimbulkan penasaran dan menggerakan seseorang untuk membacanya.
Nyarang, sebagaimana yang dideskripsikan dalam cerita, adalah ritual pengusir hujan yang  dilakukan untuk menghalau awan-awan mendung agar menjauh sehingga hujan tak jadi turun di kawasan itu. Dalam cerita, Hilman menjelaskan bahwa kekeringan sawah yang dialami Jakri lantaran ritual nyarang yang dilakukan oleh Ki Gending atas suruhan Abay yang sedang membangun sarang walet. Abay ingin sarang waletnya cepat kering. Hal tersebut menjadikan sawah Jakri gagal panen. Jakri marah lalu membalas ulah Ki Gending dengan ritual tandingan: ngalawan nyarang. Seperti yang bisa kita lihat di halaman 5 pada bukunya. “Wahey para makhluk, datangkan hujan, datangkan. Puah, puah, puah.”  Tiada henti Jakri komat-komit.
Terlepas dari keberhasilan Hilman dalam memilih judul buku dan menyajikan sentuhan lokalitas dalam ceritanya, Nyarang masih terasa kemarau. Kita tidak diberikan kesan lebih dalam tentang ritual pencegah hujan itu. Justru yang kita dapatkan adalah dendam tokoh Jakri dan tekanan yang ia alami karena tidak berhasil menurunkan hujan, sehingga Jakri gila dengan terus-terusan melakukan ritual ngalawan nyarang. Selain itu, ada beberapa diksi yang dirasa kurang mengena. Seperti ungkapan ‘kau’ dalam dialog antara Jakri dan Karta. “Kenapa kau, Jak?”, “Ah, kau bikin aku kaget saja.” (hal.1) Mungkin warna bahasanya akan lebih mengena jika kata ‘kau’ diganti dengan ‘maneh’ misalnya.
Di tengah cerita, ada kejadian pencurian sepeda motor di kampung Jakri, tepat di malam Jakri bertugas ronda. Namun sepertinya bagian itu hanya jadi tempelan cerita, sebab tidak memberikan dampak apapun pada si tokoh utama. Bahkan lucunya, Mahdi si ketua ronda, lebih menyalahkan si maling dari pada menyalahkan petugas ronda malam itu, yakni Jakri.
Selain Nyarang, ada cerpen bernuansa Banten lain yang disuguhkan Hilman. Seperti Salah Santet. Dalam Salah Santet, Hilman lebih menguatkan unsur parodi ketimbang mengangkat santet sebagai cerita yang menyeramkan. Cerpen-cerpen lain berjudul Boby, Amukan Jumari, dan Buku yang Terbakar, juga masih memunculkan warna lokalitas.
Selesai membaca Nyarang, saya teringat  Ahmadun Yosi Herfanda yang menyatakan tradisi penulisan cerpen lebih banyak ditumbuhkan oleh masyarkat urban. Sehingga cerpen-cerpen lokalitasnya pun diusung dalam bingkai ekspresi masyarakat perkotaan. Hal sama berlaku pada Hilman. Dia seorang penulis muda urban, berasal dari Pulosari Pandeglang, hijrah ke Serang lalu tumbuh dan berkembang sebagai penulis di kota Serang. Tak heran jika cerpen lokalitas yang digarapnya juga masih bernuansa urban.

___________
Anna Lestari, pengagum senja. Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai layouter Nekad Publishing.



0 komentar:

Post a Comment