Orang Bilang, Saya Gila

Banyak orang yang bilang saya gila karena berani menyusuri jalan Tanara-Serang malam-malam. Sebenarnya start saya bukan dari Tarana. Tapi dari Jatiwaringin, terus ke Mauk-Kronjo-Tanara-Tirtayasa-Pontang-Ciruas, barulah Serang. Semuanya saya lakukan untu satu hal, yaitu kesenangan saya berkumpul bersama para penulis heibat di komunitas baca yang sudah saya ikuti sejak 2012 lalu. Entah, saya merasa diberi kekuatan dan keberanian lebih untuk menyusuri jalan sepanjang enam puluh lima kilometer kurang lebih setiap minggunya.

Well. Kembali pada komentar orang-orang yang menyebut saya gila alias nggak waras itu ya! FYI, jalan yang saya tempuh adalah jalan yang memiliki banyak titik rawan. Bukan hanya rawan kecelakaan. Tapi juga rawan pembegalan. Dari informasi yang saya kumpulkan, hampir 90% orang yang tahu soal zona merah itu, tidak berani melewatinya meski waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam. Bahkan menjelang magrib pun, orang-orang sudah mulai menancap gas kendaraannya agar segera sampai di rumah dan tidak mau terjebak dalam teror gelap jalan Tanara.

Di tengah orang-orang yang sibuk berkomentar dan protesnya terhadap saya, sekaligus cerita super menyeramkan yang mereka ceritakan lagi pada saya, saya malah santai saja dan tidak kapok-kapok melewati jalan itu sendirian. Bahkan lebih dari jam sembilan malam! Selama dua tahun saya melakukan perjalanan memicu adrenalin itu setiap minggunya. Dan tentu melahirkan cerita. Cerita yang ingin saya bagi padamu.

TERJEBAK BADAI

Saya rasa, hujan yang turun malam itu, lebih pantas disebut badai, sebab hujan turun sangat deras disertai angin kencang dan gemuruh dan petir. Saya baru berangkat dari rumah pukul tujuh dan langit di depan memang sudah gelap. Mama juga terlihat sangat khawatir melepas kepergian saya yang mesti meeting untuk acara Milad majalah Ummi di Rumah Dunia, komunitas baca yang saya ikuti. Perjalanan masih terbilang tenang sampai melewati Mauk. Lalu, beberapa meter sebelum Kronjo, gerimis mulai turun. Saya menepi dan memakai jas hujan lalu mulai melaju lagi. Di tugu Cangkir Kronjo, hujan mulai menderas dan petir mulai sambar menyambar. Saya mulai deg-degan. Itu memang bukan hujan pertama yang saya alami di perjalanan Tangerang-Serang. Saya lupa, saking terlalu sering kehujanan saat lewat jalan itu. Hehe. Meski pun sudah biasa, tapi malam itu benar-benar terasa lain. Sementara hujan semakin deras dan angin meniup kencang dari arah kanan, saya harus ekstra hati-hati mengendari motor di tengah badai dan cuaca gelap. Saking rapatnya hujan, saya baru menyadari hanya ada saya sendiri di jalan itu! Mobil dan motor pun tak ada. Entah lenyap ke mana.
Saya terus bertahan dalam kondisi tersebut sampai Tanara. Sampai saya hampir tumbang oleh angin. Dan saya pun menepi ke sebuah warung yang gelap dengan penerangan seadanya dari sebuah senter. Ada si pemilik warung dan isterinya yang mengijinkan saya berteduh. Saya sudah basah kuyup. Jas hujan tidak bisa lagi diandalkan. Lalu, bapak pemilik warung bertanya kemana saya akan pergi. Ketika saya bilang akan ke Serang, dia langsung kaget. “Dih. Jauh, Mbak! Udah malem lagi. Mending di sini aja! Tuh tidur sama isteri saya.” Saya hanya tersenyum. Saya mafhum. Perjalanan saya masih jauh dan saya gila. Tapi pakaian sudah terlanjur basah. Jalan pulang sudah terlalu jauh. Menginap di rumah orang asing? Saya rasa itu juga terlalu berisiko.
Hujan masih deras. Tak lama muncul seorang bapak berkulit gelap dengan motor yang ia dorong dan ia masukkan ke halaman warung. Dia langsung membuka helm dan nyengir! Dari obrolannya dengan si pemilik warung, saya menebak mereka sudah saling kenal. Dia juga bercerita kalau hari itu, menurutnya, adalah hari sialnya. Karena sejak pagi, ada saja masalah yang ia hadapi. Sampai malam itu. Dia kehujanan, tidak punya jas hujan, kaca helmnya terbuka sehingga angin dan hujan bebas menerpa wajahnya, lalu motornya tiba-tiba mogok dan ia harus mendorong-dorong motornya di jalan gelap sendirian. Haha. Saya saja yang mengendarai motor sudah cukup kesulitan, bagaimana dengan bapak itu yang harus melawan angin, menjaga keseimbangan, dan menguatkan tenaga untuk mendorong motornya?
Cerita dia tidak sampai di situ. Dia khawatir dengan perjalanan pulangnya. “Udah malem nih, hujan lagi. Gimana saya pulangnya yah?” katanya dengan suara melas. Lalu dia melirik saya. “Mbak mau pulang ke mana?” Saya belum sempat menjawab, tapi si pemilik warung yang memberi informasi cukup jelas padanya bahwa saya bukan mau pulang, tapi mau pergi. Ya, pergi malam-malam melewati jalanan gelap dan rawan pembegalan. Ekspresi si bapak, jauh lebih kaget dari si pemilik warung. Dia langsung melonjak. Dan dia adalah orang kesekian yang bilang saya edan!
Lalu dia mulai cerita soal kejadian-kejadian menyeramkan yang ia dengar sepanjang jalan Tanara-Tirtayasa. Dia juga memberitahu saya titik-titik paling rawan yang harus saya waspadai bila saya benar-benar bertekad melanjutkan perjalanan. Meski dia juga menyarankan saya putar arah, pulang ke rumah dan cari selamat. Hehe. Saran yang sangat bagus dan pasti disetujui Mama, bila Mama mendengar.

-Bersambung

*Foto : Suatu pagi di Tanara dalam perjalan pulang dari Serang



0 komentar:

Post a Comment