Gemerlap Purnama di atas Cirarab

Oleh : Yori Tanaka

Malam ini aku sedang ingin berjalan kaki, menyu­suri gang gelap dan sepi. Menapak tilas, mengenang perpisahan. Cirarab yang tenang, juga pantulan cahaya rembulan memapahku menuju masa lalu.
“Di ulang tahunmu yang ke dua puluh nanti aku ingin melamarmu di pinggang sungai Cirarab. Sebagai hadiah ulang tahun.” Samar kudengar lagi suara halusmu.
Ini malam ulang tahunku yang ke dua puluh, tapi pinangan itu hanya ucap kenangan. Atau mungkin mimpi yang terbuang? Yang membuatku tak waras, ber­jalan sendiri sepanjang alur Cirarab yang sepi. Angin sepoi dan ranting-ranting pohon akasia tak sedikit pun kugubris.
Rasanya sudah lama sekali, saat kita berjalan di bawah purnama bersama Cirarab yang berkilau. Kau memintaku berhenti. Sejenak.
“Kenapa?” tanyaku, sambil mendekat ke lenganmu. Darahku mendesir.
“Aku lihat sesuatu,” bisikmu.
Aku langsung bersembunyi di balik punggungmu. Memejamkan mata serapat mungkin sambil berharap tak akan melihat sesuatu yang mengerikan. Seperti hantu perempuan berwajah pias yang sering dibicarakan. Ah, bukankah Cirarab selalu menyimpan misteri? Seperti juga jalan matamu. Yang tak pernah lagi kulihat pada ratusan purnama.
“Aku lihat sesuatu,” bisikmu.
Aku langsung bersembunyi di balik punggungmu.
Memejamkan mata serapat mungkin sambil berharap tak akan melihat sesuatu yang mengerikan. Seperti hantu perempuan berwajah pias yang sering dibicarakan. Ah, bukankah Cirarab selalu menyimpan misteri? Seperti juga jalan matamu. Yang tak pernah lagi kulihat pada ratusan purnama.
Sepeda ontel tua dikayuh ringan, menjajari langkah kecilku.
“Sudikah putri cantik naik ke sepeda tua pangeran kodok?” candamu selalu menerbitkan tawa.
Aku pun duduk di boncengan sepeda yang selalu kau bawa ke sekolah. Kita tertawa-tawa, tak peduli teman-teman menyoraki atau menatap sinis ke arah kita. Lalu kau akan menurunkanku di depan kelas sambil menyodorkanbeberapa biji cokelat koin dengan selembar pesan cinta dan berjanji akan menjemputku segera ketika bel pulang berdering.
Setelah itu, kau meneruskan kembali mengayuh sepedamu. Aku menatap lekat sampai sepeda itu diparkirkan di depan ruang guru, di bawah pohon ceremai. Dan sekali lagi, kita sama-sama melambaikan tangan.
Saat bel serak dipaksa menjerit-jerit, saat itu pula kau akan segera muncul dengan penggaris besi sepanjang enam puluh senti. Tubuh jangkungmu berjalan cepat dan tegap. Siapa saja yang telat akan mendapat hukuman sesuai aturan. Saat bel dibunyikan itu pulalah kau mulai menjelma menjadi manusia lain. Tidak lagi mem-perlakukanku seperti seorang putri. Baik aku, teman-
teman, ataupun anak-anak yang lain, menjadi sama di matamu. Sekali melanggar aturan maka harus siap menerima hukuman.
Seperti ketika aku dan beberapa temanku yang kepergok duduk-duduk di luar kelas saat jam pelajaran. Ketika guru yang seharusnya mengisi jam pelajaran saat itu berhalangan hadir. Waktu itu aku sedang asyik ber-senandung sambil menyandar di pilar. Lalu tiba-tiba saja semua murid yang tadinya berada di luar berhambur masuk kelas. Aku tak menyadari kalau kau sudah ada di belakangku dengan penggaris besi di tangan dan mata melotot.
“Kamu nggak tahu ini jam pelajaran?! Kenapa duduk di luar?! Kenapa nggak pernah bisa disiplin?! Masuk!”
Aku buru-buru beringsut ke kelas. Baru saja kursi kayu di meja paling depan itu akan kududuki, kau sudah berdiri di ambang pintu. Memerintahkan kami semua untuk berbaris di lapangan.
Semua berbaris enggan. Matahari siang itu begitu menyengat, hingga menembus seragam putih biru kami. Keringat langsung berhamburan di tiap pori. Hukuman! Ini­lah saatnya hukuman.
“Bisa nggak sih kalian baris yang rapi?!” kau membentak lagi.
“Kamu, Anggi! Pandangan ke depan! Jangan nunduk begitu! Memang di bawah ada apa?! Ada pisang goreng?!” Suaramu melengking tepat di telingaku. Rasanya ubun-ubunku pun ikut meledak.
“Panas, Pak,” jawabku, sambil terus menunduk.
“Semua juga panas! Tapi dalam posisi siap, pandangan
harus lurus ke depan!”
Bukannya meluruskan kepala ke depan aku malah mendongak ke wajahmu. Sambil mengangkat dagu, menantang.
“Apa lihat-lihat?” katamu, nyinyir.
Anak-anak tak ada yang bicara. Mereka malah mengamati kita dengan seksama. Mungkin mereka pikir aku tak akan berani melawanmu.
“Ngomongnya jangan deket-deket, Pak! Nyembur!” Suara lantangku mengundang gelak tawa teman-teman. Wajahmu memerah. Aku malah ikut tertawa, meringis tepatnya.
Entah karena kau tak tega melihat kami terpang­gang atau karena bad mood yang tiba-tiba menyerang, kau memutuskan untuk membubarkan kami. Anak-anak bersorak-sorai dan lekas lari menuju kelas.
“Anggi! Pulang sekolah saya tunggu kamu di kantor!”
Aku pun mengangguk.
“Kamu bisa mencandai Kak Fandi sepuasnya. Tapi tolong jangan di depan teman-teman. Kak Fandi malu. Jahat banget sih, kamu! Bukan kali ini aja kamu ngeledek Kak Fandi. Kak Fandi juga kan punya harga diri! Nggak sepantas­nya kamu berlaku seperti itu kepada orang yang lebih tua!”
Kaki yang awalnya terasa ringan saat melangkah ke sini, tiba-tiba saja menjadi sangat berat. Air mata sudah tak sabar ingin membuncah. Tapi kutahan semua itu. Aku bergegas keluar kantor dengan kesal dan sesal. Aku memang sudah keterlaluan. Menghinanya di depan teman-teman, seolah ia tak punya harga diri. Seharus­nya aku sadar, aku hanya Anggi, anak bau kencur yang diboncenginya setiap hari, diantar pulang, diajari PR, sesekali dibelikan cokelat dan diajak jalan-jalan menyusuri Cirarab. Aku hanya anak kecil yang kurang ajar!
“Nggi…!” panggilmu.
Aku pura-pura tak mendengar. Kupercepat langkah, bahkan setengah berlari. Pulang dengan tangis yang ditahan.
Di ujung gerbang aku berpapasan dengan Rena. Tetanggamu yang juga anak tingkat akhir di sekolah ini. Senyumnya terlihat menjijikan. Penuh penghinaan.
“Kudengar kamu bikin malu Kak Fandi, ya? Dasar orang kaya, nggak punya sopan santun! Selalu aja meng-hina orang miskin! Heh, asal kamu tahu, ya! Kak Fandi itu memang cuma pegawai administrasi dan guru piket, tapi dia tetap punya harga diri! Orang tuanya pasti sangat marah bila mereka tahu Kak Fandi pacaran dengan Anggi, anak orang kaya yang belagu, sombong dan suka meng-hina.”
“Cukup! Laporin aja semuanya! Biar kamu puas!” Aku mencegahnya bicara lebih banyak.
Aku tahu aku salah. Aku pun menerima semua kesakitan ini. Tapi Rena? Kenapa dia selalu saja ikut campur? Kenapa dia tak pernah senang atas kedekatanku denganmu?
Seperti biasa, sore datang dengan harum yang sama. Seperti sore-sore kemarin. Saat kita beriringan, berhimpitan dengan ilalang yang tumbuh sepanjang jalan sambil mendengar desir Cirarab. Cirarab, sungai yang
mengalir sampai jauh, seperti jauhnya kita sejak peng-hinaanku padamu itu.
Aku sedang duduk di atas rumput yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan sambil memandang hamparan sawah hijau di bawah. Ya, jalan aspal ini jauh lebih tinggi dari pesawahan dan sungai Cirarab sehingga pemandangan terlihat lebih menawan. Lalu kudengar suara gemeretak roda yang beradu dengan jalan aspal yang berlubang-lubang. Semakin dekat dan dekat. Aku bergeming. Tetap membelakangi jalan dan menghadap ke pesawahan. Sepeda memang transportasi yang biasa digunakan orang-orang melintasi jalan sepi menuju kampung di ujung sana. Jadi kenapa mesti mengalihkan lamunan pada orang-orang lewat?
Suara rem berderit. Aku pun menengok ke belakang. Lelaki tinggi besar, berkulit kecokelatan, sudah berdiri dengan tatapan garangnya di sana. Aku terkesiap. Jalanan ini begitu sepi. Bahkan gemercik Cirarab hampir tak terdengar. Aku sungguh takut lelaki ini menaruh niat jahat padaku.
“Kamu Anggi?”
Dia menyebut namaku? Aku tak salah dengar?
“Benar kamu pacaran sama Fandi?”
Aku hanya termangu.
“Kami orang nggak punya, sedangkan kamu anak kaya raya. Rasanya nggak pantas jika kamu dekat dengan kami.
Saya malu. Saya sadar diri. Saya tidak ingin Fandi mendapatkan penghinaan. Jadi sebelum hubungan kalian lebih jauh, sebaiknya diakhiri saja. Lagi pula kamu masih kecil. Usiamu terpaut delapan tahun dengan Fandi kan?
Tinggalkan Fandi, agar kami bahagia.”
Lelaki itu bicara dengan dada naik turun. Ada beban berat yang kulihat keluar dari raut wajahnya. Aku hanya bisa menelan ludah tanpa tahu harus berargumen apa. Aku hanya anak kelas 2 SMP yang simpatik pada kebaikan yang kau tawarkan padaku. Aku tak pernah berpikir soal keluarga. Soal kaya miskin. Yang aku tahu aku bahagia bila di dekatmu. Aku senang karena kau selalu memberiku semangat. Dan kini, aku dihadapkan pada masalah yang begitu dewasa bagiku. Tak bisa aku menjawab semua ini dengan lancar. Tak bisa!
Pagi yang retak. Semua detak terasa melambat. Anak-anak sepanjang lorong sekolah menatap lekat. Rena, pasti Rena telah memberitahu segalanya kepada orang tuamu, teman-temanku, seisi sekolah ini, bahkan mungkin seisi dunia. Ah, aku tak mau mengingat lagi. Segalanya tinggal masa lalu. Begitu pula kau! Tak boleh lagi kukenang semua kesakitan ini.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan. Hanya diam dan diam yang kulakukan setiap pagi jika sudah sampai sekolah. Aku tak berani lagi menampilkan diri. Tak berani lagi duduk-duduk di luar. Tak berani lewat ruang guru. Ah, sungguh aku tak berani lagi melihat apapun yang bisa mengingatkanku denganmu. Meski teman-teman mulai bertanya, kenapa tak pernah lagi kita bersama.
Kenapa? Aku masih anak kecil. Aku orang kaya. Ya, tak pantas mendapat sambutan hangat orang-orang biasa.
Bila tak sengaja berpapasan, maka aku akan pura-pura tak mengenalmu. Berkali-kali kau kirimi aku cokelat
dan surat, bertanya apa yang mengubah sikapku padamu, berkali-kali pula aku bungkam. Aku tahu kau bingung. Aku tahu kau miris. Aku percaya apa yang dikatakan teman-teman tentang semangatmu yang hilang itu karenaku. Tapi sekali lagi, aku hanya anak kecil. Anak orang kaya yang suka menghina.
Anggi, kenapa kamu pergi tanpa isyarat? Tak bisakah kamu memberikan penjelasan? Kak Fandi bingung.
Apa yang membuatmu begini? Kak Fandi mohon kembalilah, Nggi. Jadilah Anggiku yang dulu. Yang selalu menawarkan keceriaan tanpa batas padaku.
Secarik suratmu yang kesekian kalinya teronggok lesu di atas meja. Ada rasa ingin membalas. Tapi selalu kutahan sampai akhirnya aku lulus sekolah. Aku lulus SMA, dan kuliah. Hingga akhirnya tak pernah kubalas. Tak pernah ada percakapan yang lahir.
“Anggi…,” suara halus memanggil seiring dengan nyanyian sumbang jangkrik-jangkrik.
Kulihat sosok jangkung remang di bawah cahaya bulan. Aku gemetar. Tangan dan kakiku dingin sekali. Bahkan mataku pun tak mampu berkedip.
“Selamat ulang tahun, Nggi,” ucapmu, sambil mendekat dan menyerahkan sekotak hadiah yang dibalut pita oranye.
Mataku bertemu matamu. Segala rindu yang diperam sejak masa SMP kini berlepasan. Aku meng-hamburkan diri ke pelukanmu yang disambut oleh belaian
lembut jemarimu di rambutku. Sesaat setelahnya, mataku menangkap sesuatu. Kulihat lengan kirimu menyembunyikan selembar undangan. Samar kubaca dua nama terukir dengan tinta emas di kertas ungu itu: Fandi & Rena.


0 komentar:

Post a Comment